Oleh Romi Sudhita
Sampah, utamanya sampah plastik, bisakah terbebas dari muka bumi Indonesia? Secara teoretis bisa saja dijawab iya! Namun, dalam praktiknya tampaknya hal itu sulit bisa tercapai. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Kendati demikian, ada institusi yang memprediksi pada tahun 2025, Indonesia bebas plastik (termasuk Bali). Institusi mana itu? Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, itulah jawabnya.
Safri Burhanudin, dari Deputi IV Bidang Koordinator SDM, Iptek, dan Kebudayaan, dialah orangnya ketika berbicara di hadapan komunitas penanggulangan sampah plastik di Pantai Legian Kuta awal tahun ini (Bali Post, 25 Februari 2018). Rentang waktu 7 tahun (2018 – 2025) rasanya masih cukup lama. Jangan-jangan ada yang berpikiran, sebelum tahun 2025 kita masih boleh semau gue membuang sampah plastik di sembarang tempat. Tapi kita pun berharap jangan sampai ada yang berpikiran kotor seperti itu.
Sebelum muncul pernyataan atau prediksi dari Kemenko Kemaritiman, sesungguhnya masyarakat sudah resah akan bahaya sampah plastik tersebut. Malah sudah ada yang menyebut dalam keadaan darurat. Mereka pun tak usah disalahkan karena lidah orang begitu cepat ketularan untuk menyebut satu kata “darurat.” Sebutlah di sini, darurat narkoba, darurat pelecehan seksual, dan lain-lain termasuk sampah plastik yang terkesan mendadak “didaruratkan.”
Secara nasional, setiap daerah di Indonesia mengeluh soal sampah, terutama sampah plastik. Jangan disalahkan kalau pemerintah pada awal tahun ini mengeluarkan kebijakan “sampah berbayar” bagi masyarakat yang berbelanja di toko-toko modern. Sepertinya kebijakan itu hangat-hangat tahi ayam karena tidak semua toko modern memberlakukan hal seperti itu.
Buktinya, ketika penulis membeli kue dan barang lain di sebuah toko modern di Singaraja, tetap saja dibungkus plastik tanpa meminta uang pengganti plastik yang menjadi kantong/pembungkus barang tersebut. Alasan si penjaga toko, “kami belum memberlakukan Pak, mungkin nanti, karena ini aturannya masih baru,” katanya ketika itu.
Secara umum sampah yang pada dasarnya bersumber dari rumah tangga, industri, dan bersumber dari alam, dapat menjadi permasalahan lingkungan serius karena tingkat bahayanya dapat mengganggu kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sampah-sampah organik, semisal dedaunan dan sisa-sisa makanan, yang menumpuk di sekeliling kita dapat menimbulkan bau busuk dan mencemari lingkungan.
Apalagi sampah yang dikategorikan sampah plastik seperti botol-botol plastik aneka minuman, plastik bekas mainan anak-anak, bekas perabot rumah tangga yang terbuat dari plastik, dan tak ketinggalan kantong plastik yang lazim disebut tas kresek. Singkat cerita sampah plastik yang dikarenakan tidak mudah mengalami degradasi seperti halnya sampah organik maka sampah plastik dapat bertahan sampai lebih dari seratus tahun.
Cemari Lingkungan
Apabila sampah plastik bercampur dengan tanah maka tanah akan menjadi kurang subur dan banyak mikro organisme yang tidak akan bisa hidup dalam tanah tersebut. Dan, jika sampah plastik dibakar, sudah pasti akan menghasilkan pencemaran lingkungan berupa gas dan senyawa beracun.
Sampah plastik merupakan salah satu jenis sampah anorganik. Sampah anorganik itu meliputi; kertas, gelas, dan logam. Nama plastik mewakili ribuan bahan yang berbeda sifat fisis, mekanis, dan sifat kimianya.
Menurut dosen Kimia Undiksha, Drs. Wayan Muderawan, M.S., Ph.D., secara garis besar plastik dapat digolongkan menjadi dua yakni plastik yang bersifat thermoplastic dan yang bersifat thermoset. Golongan thermoplastic dapat dibentuk kembali dengan mudah dan diproses (didaur ulang) menjadi bentuk lain. Sedangkan thermoset bila telah mengeras, tidak akan dapat dilunakkan kembali. Nah, plastik yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah jenis thermoplastic.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik jelas terus meningkat dan hal itu tak bisa terhindarkan lagi. Coba dibayangkan, kalau dulu kita membeli sebungkus “laklak” yang dibungkus dengan daun pisang, kini jajanan tersebut yang kita terima dari pedagang menggunakan kemasan plastik atau dibungkus dengan kertas minyak lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik/tas kresek.
Bahkan tanpa disadari minuman yang kita minum saat mengikuti kegiatan-kegiatan seperti seminar, resepsi perkawinan, dan lain-lain kebanyakan menggunakan kemasan plastik berbentuk gelas dan/atau berbentuk botol terbuat dari plastik.
Dengan mengutip data yang pernah dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 1999, bahwa volume perdagangan plastik impor Indonesia, terutama polipropelina (PP) pada tahun 1995 sebesar 136.122,7 ton sedangkan pada tahun 1999 mencapai 182.523,6 ton (terjadi peningkatan sebesar 34,15%). Jumlah atau peningkatan persentase tersebut diperkirakan meningkat hingga sekarang dan pada tahun-tahun mendatang.
Sebagai konsekuensinya peningkatan limbah plastik pun tidak terelakkan membanjiri sungai dan banyak yang langsung menuju ke laut. Komposisi limbah atau sampah plastik yang dibuang oleh setiap rumah tangga sebesar 9,3% dari total sampah secara keseluruhan. Hartono, sumber berkompeten, mengklaim bahwa di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), rata-rata setiap pabrik menghasilkan satu ton limbah plastik setiap minggunya atau 143 kg per harinya.
Tentu saja Anda sempat bertanya-tanya kalau di daerah Bali berapa ton sampah yang dihasilkan per minggunya? Jawabnya ada di instansi, petugas-petugas khusus yang menangani sampah, dan secara real dapat dibaca, didengar, dan dipirsa di media massa. Jumlah limbah plastik ditengarai akan terus bertambah disebabkan sifat-sifat yang dimilikinya seperti; tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami, tidak dapat menyerap air, tidak dapat berkarat, yang pada akhirnya menjadi masalah kronis bagi lingkungan.
Jika kita sama-sama sadar, tentu kita mampu berbuat lebih yaitu dengan menggunakan kembali (reuse) kantong-kantong plastik yang disimpan di rumah. Dengan demikian secara tidak langsung kita telah mengurangi limbah plastik yang dapat terbuang percuma setelah digunakan (reduce). Atau, bahkan lebih bagus lagi apabila kita dapat mendaur ulang plastik menjadi sesuatu yang memiliki kegunaan tertentu (recycle).
Wayan Muderawan, setelah sempat melanglang buana ke negeri tetangga (Singapura), mengatakan, di negara tersebut, konon, tingkat kesadaran masyarakatnya akan bahaya sampah plastik sudah sangat tinggi. Di sembarang tempat selalu dijumpai lima tong sampah dengan warna yang berbeda guna menampung sampah berjenis (1) sampah hewan & tumbuh-tumbuhan, (2) sampah kertas, (3) sampah plastik, (4) sampah gelas, dan (5) sampah beraneka macam logam.
Setiap orang di situ selalu ingat manakala ingin membuang sampah, tinggal menyesuaikan dengan jenis tong sampah yang tersedia. Kesadaran untuk tertib membuang sampah di daerah kita (kabupaten/kota di Bali) kapan seperti itu ? Kalau saja tetap cuek tidak hirau dengan tata aturan pembuangan sampah plastik, jangan harap di tahun 2025 kita akan bebas dari bahaya sampah plastik.
Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku