Pemerintah telah mengeluarkan rencana aksi nasional pengelolaan sampah plastik. Rencana aksi ini terdiri dari lima pilar utama. Pertama, memperbaiki perubahan perilaku masyarakat. Kedua, mengurangi perembesan dari daratan. Ketiga, mengurangi perembesan dari laut. Keempat, mengurangi produk/penggunaan plastik dan meningkatkan mekanisme pendanaan. Kelima, reformasi kebijakan serta penegakan hukum. Akan lebih baik, aksi nasional ini diarahkan untuk Gerakan Nasional Pemakaian Plastik Organik.
Plastik organik satu-satunya solusi menghadapi ancaman sampah plastik di bumi ini. Salah satunya, yang terbuat dari bahan dasar ubi kayu (singkong). Sampel plastik organik ini pernah penulis terima dari produsennya. Fisiknya nyaris sama dengan plastik sintetis yang ada sekarang.
Teksturnya lebih lembut dan kenyal sehingga tidak berisik seperti plastik sintetis. Hanya, produksinya masih sangat terbatas. Plastik organik ini tentu akan sangat mudah dicerna perut bumi. Dia akan lebih cepat melebur, bahkan tak perlu didaur ulang. Dia akan langsung menjadi kompos, layaknya sisa tumbuh-tumbuhan yang membusuk di dalam tanah. Dia tidak perlu menjadi ancaman bagi pariwisata Bali, bahkan bagi umat manusia penghuni bumi ini.
Plastik organik ini perlu didorong untuk diproduksi secara besar-besaran. Tentunya, ketersediaan bahan dasar harus mendapat perhatian. Singkong misalnya, saat ini produksinya masih terbatas. Singkong masih dianggap tanaman pendamping, bukan yang utama. Dalam keterbatasan jumlah, singkong menjadi rebutan untuk pembuatan tepung kanji/tapioka maupun jajanan lain termasuk mi instan. Perlu kebijakan untuk bisa memproduksinya dalam jumlah besar. Ini untuk menyaingi bahkan menyingkirkan plastik sintetis yang mencemari bumi.
Sangatlah mubazir bahkan tak berguna kebijakan pengurangan pemakaian plastik jika masyarakat tidak disediakan pilihan penggantinya. Lihat saja penerapan kebijakan plastik berbayar di swalayan dan pasar-pasar. Terbukti tidak jalan bahkan gagal total karena masyarakat tidak diberikan pilihan penggantinya.
Demikian halnya kebijakan memilah sampah plastik untuk diolah dan didaur ulang, bukanlah solusi sepanjang produksi plastik sintetis tidak dihentikan. Dihentikan bukan lantaran pabriknya ditutup paksa pemerintah, tetapi tutup karena masyarakat konsumen tidak mau lagi memakai plastik sintetis.
Pemerintah telah berikrar tahun 2025, Indonesia bebas sampah plastik. Tak tanggung-tanggung, pemerintah menganggarkan dana 1 miliar dolar AS per tahun untuk membersihkan sungai dan lautnya dari sampah plastik. Kenapa dana ini tidak dipakai untuk mendorong produksi plastik organik agar tidak lagi ada judul berita “Sampah Plastik Ancam Pariwisata Bali” dan sejenisnya?
Bahkan, pemerintah seharusnya berani mengeluarkan dana lebih besar untuk mendorong produksi bahan baku plastik organik ini, termasuk pendirian pabrik-pabriknya. Ini sekaligus peluang baru di sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor industri dan perdagangan.