NEGARA, BALIPOST.com – Harga jual ikan yang anjlok saat musim “banjir” ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan menjadi persoalan menahun. Hampir setiap tangkapan ikan melimpah harga turun karena kualitas ikan yang sudah tidak bagus. Salah satu pemicunya sistem manajemen bongkar dan antrean penimbangan yang menyebabkan ikan rusak. Dan ujungnya hanya bisa tertampung untuk tepung.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jembrana, I Made Widanayasa, Selasa (16/10) mengatakan satu-satunya jalan adalah harus ada penyangga atau perusahaan yang menampung ikan hasil tangkapan nelayan itu supaya harga tetap stabil. Perusahaan itu bisa dari BUMN atau BUMD yang berfungsi membeli hasil tangkapan sesuai harga. Di samping juga memperluas buyer (pembeli) antar provinsi.
“Saya sudah sampaikan ke DPD HNSI Provinsi agar mendatangkan pembeli-pembeli yang bisa menangani (anjloknya harga) ini. Namun itu harus ada koordinasi antar provinsi,” terangnya.
Dari pengamatan dan pengalaman masa banjir ikan, turunnya harga dipicu kualitas yang rendah dan banyak rusak. Sejatinya bila dilihat dari kondisi TPI yang ada saat ini, menurutnya memang permasalahan ada di waktu distribusi dan teknis bongkar ikan. “Semestinya ikan tangkapan diturunkan dari kapal ke TPI tidak lagi terkena air laut, agar tidak cepat busuk. Tapi yang terjadi, mau tidak mau diangkut panol tetap kena air laut,” tandasnya.
Selain distribusi dari kapal ke TPI agak lambat karena banyaknya perahu yang hendak bongkar. Untuk solusi distribusi ikan dari kapal ke TPI di beberapa pelabuhan menggunakan craine (katrol pemindah barang). Selain itu kapal juga harus bersandar agar lebih dekat. Tapi di Pelabuhan Pengambengan karakteristiknya berbeda dan tidak memungkinkan kapal bersandar terlebih bila terjadi pasang surut.
Seperti rantai yang saling merangkai, antara nelayan, buruh panol, blantik ikan dan pekerja lainnya di Pengambengan saling membutuhkan. Buruh panol yang jumlahnya puluhan orang di TPI Pengambengan juga terkena dampak mendapatkan penghasilan harian. Setiap ton ikan yang mereka angkut dari kapal menuju timbangan memperoleh upah yang cukup lumayan.
“Kami berkelompok, biasanya sudah dikontrak kapal, khusus untuk angkut. Semakin banyak ikan semakin banyak kita dapat (upah),” terang Sumita (50), buruh panol asal Desa Baluk, Kecamatan Negara.
Selain upah uang, mereka juga mendapatkan ikan yang biasanya langsung dijual lagi. Sebelumnya saat sepi ikan hingga dua tahun lebih, Sumita mengaku bekerja sebagai buruh tani. Kini dengan kondisi banjir ikan di Pengambengan, ia memilih bekerja menjadi tukang panol. (surya dharma/balipost)