Penyintas mengangkut harta benda mereka yang tersisa dari lokasi gempa dan pencairan tanah (likuifaksi) di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/10). (BP/ant)

DENPASAR, BALIPOST.com – Istilah likuifaksi menjadi populer setelah adanya gempa dan tsunami yang menimpa Sulawesi Tengah. Sejumlah daerah lainnya termasuk di Bali, berpotensi mengalami hal serupa.

Potensi terjadinya likuifaksi di Bali, menurut akademisi di Fakultas Teknik Universitas Warmadewa I Nengah Sinarta, S.T., M.T., belum dapat dipastikan karena belum didukung data memadai. ‘’Fenomena likuifaksi memang jarang terjadi,’’ katanya.

Pihaknya dalam waktu dekat berencana melakukan penelitian. Memetakan Pulau Bali secara keseluruhan mengenai potensi likuifaksi, pernyataan dari Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratmodipurbo mungkin cukup menenangkan.

Dalam sebuah pemaparannya di Kantor Gubernur Bali, Kamis (4/10), Purbo yang telah melakukan penelitian sejak tahun 2000 di Bali, mengatakan lapisan tanah di Bali banyak dibentuk oleh lahar letusan Gunung Batur. Akibatnya jenis material batuan di Bali adalah batuan pasir yang runcing.

Struktur batuan ini pun sangat khas dan kuat. Ini tentu berbeda dengan lapisan tanah yang pasirnya bulat dan lepas seperti yang ada di Petobo, Palu. Meski demikian, perlu diwaspadai adalah kawasan-kawasan yang berupa tanah-tanah muda yang terbentuk dari sedimentasi atau dikenal dengan lapisan alluvial.

Baca juga:  Satu Pasien COVID-19 asal Pengambengan Meninggal

Di Bali, sejumlah kawasan di sebelah selatan pulau memiliki potensi lapisan tanah yang masih muda. Hasil penelitian pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Wibowo yang meneliti potensi lukuifaksi di kawasan Bali Selatan yang dimuat dalam jurnal RISET terbitan Juni 2016, mennyimpulkan tentang bahaya amblesan, likuifaksi di bagian selatan Pulau Bali. Kawasan yang diteliti adalah Serangan-Tuban-Tanjung Benoa, Bali.

Dipilihnya wilayah tersebut sebagai penelitian mengingat adanya pengembangan kawasan yang cukup masif untuk kebutuhan sarana akomodasi penunjang pariwisata. Hasil penelitian Eko Wibowo menunjukkan bahwa daerah Serangan-Tuban memiliki lapisan lempung sangat lunak hingga lunak, plastitas tinggi dan kuat geser rendah. Hal ini mengakibatkan tanah di daerah tersebut rentan mengalami amblesan.

Baca juga:  Wacana Bali "Nyipeng" Beredar Cegah COVID-19, Ini Pendapat Sulinggih

Sementara daerah Kedonganan-Tanjung Benoa-Serangan memiliki lapisan lanau-pasir sangat lepas-lepas. Dengan kondisi geologi seperti ini, wilayah tersebut memiliki kerentanan terhadap likuifaksi yang dipicu oleh gempa bumi.

Penelitian serupa juga dilakukan Rahmat Nawi Siregar, mahasiswa S-2 Ilmu Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, dengan menggunakan metode Ground Penetrating Radar (GPR) dan Geolistrik di Sanur-Serangan-Tanjung Benoa dan Tuban. Hasilnya menunjukkan bahwa materi pasir lanau lempung mempunyai persentasi fines kurang dari 20 persen dan dikategorikan sebagai daerah yang mempunyai potensi tinggi likuifaksi.

Yang cukup mengkhawatirkan tentu saja pesisir selatan Pulau Bali ini merupakan wilayah dengan kerentanan bahaya gempa bumi. Pasalnya, wilayah itu terletak kurang lebih antara 100 hingga 150 kilometer di sebelah utara zona subduktif aktif yakni Subduksi Lempeng Indo-Australia.

Baca juga:  Dikeluhkan Sampah di TPS Terusan Meluber ke Jalan

Sejarah kegempaan yang tercatat dari tahun 1862 hingga 1979 akibat aktivitas subduksi aktif ini menunjukkan kekuatan gempa rata-rata MMI VII. Sementara dari tahun 1985 hingga 2011 pengukuran kekuatan gempa berkisar antara 5,7 SR hingga 6,8 SR.

Pemetaan potensi likuifaksi menjadi sangat penting untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipasi. Kemajuan pengetahuan di bidang teknik sipil memungkinkan dilakukan antisipasi terutama melalui persiapan struktur bangunan yang tahan gempa dan ancaman likuifaksi. Seperti yang dilakukan di Bandara Ngurah Rai, di mana tanah yang berpasir dibuat padat terlebih dahulu.

Hal ini diungkapkan ahli dari ITB Bandung Prof. Masyur Irsyam menanggapi fenomena likuifaksi yang terjadi di Petobo, Palu dikaitkan dengan potensi fenomena serupa terjadi di beberapa wilayah lainnya di Indonesia. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *