Oleh I Komang Warsa, S.Pd., M.Si., M.Pd.
Fobia politik juga sangat dirasakan di kalangan ASN (baca: guru) terutama di akhir pesta demokrasi. Perjamuan politik terkadang penuh kelucuan seperti dagelan lawak, terkadang seperti sinetron. Semua rasa dan perilaku politik bergantung masing-masing orang menyikapi dan melakoni.
Sejatinya, harapan masyarakat dunia politik bisa membuat sejahtera, bisa membuat lebih nyaman dan aman. Berdamai dengan politik, nyaman dan aman dengan politik adalah harapan semua orang.
Politik sejatinya mulia, indah, dan bagian dari seni beretorika apabila berada di tangan-tangan politikus yang beradab dan bermartabat. Akan tetapi, politik akan menjadi hina, jahat, menggelikan bahkan menyakitkan jika berada di tangan politikus biadab tanpa adab. Suksesi kepemimpinan melalui pesta demokrasi merupakan bagian dari hajatan politik sebagai jembatan menuju gerbang kesejahteraan.
Undang-undang mensyaratkan ASN (Aparat Sipil Negara) guru ada satu larangan untuk terlibat dalam politik praktis di negeri demokrasi Pancasila. Posisi ASN merupakan pilihan sulit dan berdiri di ambang batas keraguan, ibarat makan buah simalakama.
Undang-undang yang mengatur merupakan bagian dari produk hukum untuk melegalkan atas nama konstitusi dan bukan atas nama kekuasaan. Sedangkan produk hukum itu sendiri bagian dari produk politik. Setiap produk politik mengandung agenda politik yang tersembunyi di dalamnya (hidden political agenda).
Dengan demikian, keberadaan produk hukum lahir tidak terlepas dari produk politik. Jika produk hukum adalah bagian dari produk politik maka undang-undang yang mengatur tentang kenetralan ASN (Aparatur Sipil Negara) juga bagian produk politik. Akankah kenetralan ASN bagian dari retorika produk politik? Dan akankah kenetralan ASN ada unsur yang tersembunyi di balik produk hukum itu? K
eraguan dengan penuh pertanyaaan pasti wajar berkecambuk dalam hati ASN (Baca: guru). Akan tetapi, aturan terkadang bias dalam mengimplementasikan hak dan kewajiban insan ASN (termasuk di dalamnya guru). Jagat demokrasi yang memformat aturan ASN dengan payung undang-undang, tanpa disadari atau memang diformat untuk menjadikan abu-abu alias hak politik yang semu bagi ASN guru.
Buktinya, guru juga (terkadang) terseret ke panggung politik dan ujung-ujungnya menjadikan guru bekerja penuh kecemasan dan ketakutan. Ketika guru dalam bekerja penuh kecemasan dan ketakutan maka harapan guru mengajar dengan hati akan sirna dan hanya isapan jempol.
Semua itu memunculkan satu retorika di kalangan ASN (guru) yakni mendukung salah, tidak mendukung juga salah jika mendukung incumbent dan kalah maka karier hancur kalau tidak mendukung incumbent dan terpilih kembali karier bisa hancur serta bersikap netral terkadang juga dikatakan tidak berkeringat dalam pertarungan politik, ironis.
Guru mesti terbebas dari klimaks alur drama politik agar tercipta suasana mengajar di kelas adalah suasana yang penuh kedamaian, penuh keterbukaan, dan penuh keriangan untuk menciptakan pembelajaran yang manusiawi. Sekolah bukan tempat robot-robot manusia, bukan tempat orasi politik, dan bukan juga tempat memenjarakan pelanggar pemartabatan manusia. Sekolah adalah rumah pendidikan untuk memanusiakan manusia menjadi manusia yang manusiawi.
Akan tetapi, realitas guru sangatlah berbeda dengan pahlawan-pahlawan lain seperti pahlawan pembela tanah air yang patut dijiwakan dalam diri dan juga pahlawan olahraga yang memperoleh medali emas sebagai pahlawan sejati di bidang olahraga. Guru dalam perjalanan hidup di negeri seribu pulau selalu menelan pil pahit dari zaman guru Oemar Bakri sampai zaman milenial.
Guru secara normatif memang sebagai pencerdas bangsa dalam ranah intelektual dan apektif. Guru “seakan” tidak pernah merdeka dalam hal politik jika menganalogi bekerja ibarat dongkrak. Padahal guru juga terlahir bagian dari produk politik termasuk dalam politik birokrasi. Apakah ini yang disebut imperalisme politik di kalangan guru? Guru boleh menentukan hak pilih, tetapi kenapa hak dipilih menjadi hilang entah ke mana? Hak-hak politik guru dalam jagat demokrasi seharusnya jangan dikebiri (dalam segala hal) karena guru merupakan bagian wadah moralitas yang terdalam dari hukum demokrasi (inner morality of law).
Guru bekerja bukan sebagai penopang (dongkrak) politik semata seperti layaknya dongkrak sebuah mobil ketika tidak diperlukan disimpan begitu saja. Bisa mengangkat beban yang berat tetapi tetap bekerja di bawah satu tekanan dari kekuasaan yang menguasai. Kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan rujukan konstitusi. Jika kekuasaan yang dipenuhi hasrat untuk berkuasa, menguasai menjadi tuan dari kuasa adalah awal dari sebuah keruntuhan.
ASN guru bukan budak kekuasaan dan bukan juga dongkrak kekuasaan. ASN guru adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan bermartabat. Urusan birokrasi politik, sampai urusan program pembelajaran, penilaian, dan urusan karakter siswa ada di pundak guru sehingga perjalanan tugas-tugas guru padat merayap tapi tidak pernah macet.
Begitu berat beban tanggung jawab pekerjaan dengan urusan moralitas bangsa belum lagi urusan dampak politik dibeban pundak guru. Urusan mendidik adalah urusan hati, urusan pendidikan adalah urusan moral dan bukan urusan dukung-mendukung. Sekolah bukan panggung politik dengan urusan dukung-mendukung suara apalagi urusan kudeta akan sangat tidak mungkin dilakukan oleh pendidik.
Wadah yang terhormat dari guru yang disebut PGRI sebagai rumah guru, dengan suara lantang dengan diksi retorika dengan penuh kesantunan dalam menyuarakan ke-indepeden-an guru patut menjadi isapan jempol. PGRI bukan organisasi euforia atau organisasi tempat nongkrongnya politikus yang berbaju PGRI untuk mendongkrak suara-suara politik dari suara guru dalam birokrasi.
Rumah guru (baca: PGRI) bukan sekretariat partai bukan juga bengkel politik (sebagai dongkrak) hanya menampung orang bermasalah. PGRI bukan organisasi bengkel guru melainkan PGRI organisasi pemartabatan guru dalam memperjuangkan hak-hak yang melekat dalam keguruannya dan termasuk hak politiknya. Memberikan ruang kebebasan kepada guru merupakan bagian yang meringankan dari beban politik sehingga guru bukan bekerja ibarat dongkrak. Guru bukan spionase atau menjadi objek spionase.
Perhelatan dalam dunia demokrasi seakan menyisakan cerita pilu di kalangan dunia pendidikan (baca: guru). Guru dibentuk ibarat ulat yang mengalami proses metamorfosis dari kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang indah untuk bisa terbang dalam membentuk insan yang terdidik.
Guru adalah pekerjaan profesional sama halnya dengan pekerjaan dokter yang dididik dan dicetak untuk menjadi seorang profesional sejati. Perjalanan jagat demokrasi dengan partai politik sebagai piranti untuk mengukur sebuah negara dikatakan demokratis masih menyisakan debu-debu demokrasi yang terkadang menjadikan mata terpejam bahkan amat menyakitkan.
Kenyataan berkata lain, suksesi kepemimpinan di daerah (pemilihan Presiden Gubernur dan Bupati atau Pileg) suara-suara guru menjadi lirikan untuk mendongkrak kemenangan politik kekuasaan. Guru dihadapkan dengan satu dilema politik. Kecemasan dan kebimbangan pilihan bagi guru mulai mengganggu kinerja.
Guru takut menentukan pilihan tetapi jika tidak memilih takut kena dosa sosial-politik. Guru bukan dongkrak yang bisa mengangkat suara-suara politik kekuasaan. Guru juga bukan dongkrak dalam regulasi pekerjaan, artinya bekerja di bawah tekanan sungguh menyakitkan dan menyirnakan keadaban profesional. Semakin berat tekanan di atas guru semakin tidak nyaman. Semua itu PGRI selalu bersuara tetapi suara PGRI bukan untuk suara politik kekuasaan tetapi suara guru untuk didengarkan.
Penulis, Wakil Ketua PGRI Cabang Rendang dan Bendesa Adat Alasngandang, Pempatan, Rendang