Guru
Para guru saat melihat pengumuman penerimaan guru kontrak. (BP/dok)

Beberapa tahapan proses politik menuju Pemilu 2019 sudah dimulai. Guru adalah sasaran empuk bagi mereka yang mengais rezeki di bidang politik. Makanya paradigma lama yang menyebutkan guru tak boleh berpolitik harus dibalik guru harus berpolitik dalam kasus-kasus tertentu.

Saat ini, sudah mulai diterjemahkan berbagai strategi politik dari partai politik dan tim sukses calon presiden/wapres. Mengingat politik itu adalah kecerdikan bersiasat. Rumusan absolut politik praktis cuma satu saja; menang. Menang dalam arti memperoleh kekuasaan, baik di parlemen maupun di eksekutif.

Bagaimana cara meraih kekuasaan lalu mempertahankannya, menjadi kalkulasi politik paling asasi. Pihak yang berkontestasi (parpol, caleg, dan capres) berpikir keras bagaimana agar dipilih rakyat. Rakyat yang berasal dari pelbagai latar belakang, profesi, agama, kultur, suku dan daerahnya.  Termasuk kalangan guru menjadi incaran mereka.

Baca juga:  Cegah Korupsi, Pemilihan Kepala Daerah Diusulkan Kembali Oleh DPRD

Guru adalah salah satu kelompok profesi yang ada di masyarakat, dianggap sebagai kelompok terpelajar, bahkan di daerah tertentu kalangan guru masih diletakkan di kelas atas. Guru menjadi rujukan, apalagi guru ngaji dan pesantren.

Sejak era kolonial dulu, di beberapa daerah, guru dianggap subjek strategis yang harus dikuasai. Bayangkan seorang guru yang memerintahkan anak didiknya yang sudah memiliki hak pilih menentukan pilihan untuk parpol dan caleg tertentu bisa jadi 90 persen diikuti oleh siswanya. Para caleg pun bergembira satu orang didekati dengan puluhan massa. Lebih irit biaya lagi.

Nah, bagaimana seharusnya guru bersikap? Kesimpulannya guru harus berpolitik, namun bukan berpolitik praktis. Yang terakhir ini sudah digariskan PGRI bahwa PGRI adalah organisasi independen. Demimkian juga anggotanya.

Baca juga:  Problema PGRI di Bali

Yang kita maksud guru harus berpolitik adalah upaya guru untuk bersiasat agar para tim sukses atau caleg tak memaksakan kehendaknya. Apalagi dengan menjadikan mereka tim sukses cukup dengan kata ‘’ya dan siap’’.

Inilah politik sederhana bagi seorang guru untuk menghadapi serangan tim sukses dan caleg 2019. Apa sulitnya mengatakan ‘’ya dan siap’’ toh yang menetukan pilihan guru adalah hati nuraninya sendiri. Pasang saja kata ’’ya dan siap’’ untuk semua orang. Semakin licin guru menghadapi terjangan politik para elite, semakin cerdas guru tersebut. Makanya guru jangan mau dijadikan anjing borosan,  sibuk dan payah mencari massa, yang dapat kedudukan orang lain.

Baca juga:  Mutlak, LPD Mesti Kuat

Kedua, guru juga harus berpolitik dengan cara menentukan pilihan pada caleg dan pasangan yang benar-benar membela kepentingan guru dan PGRI. Inilah peran politik guru dalam menentukan SDM calon anggota legislatif dan esksekutif. Ketiga, guru harus berpolitik dengan tidak mau menerima suap menjelang pemilihan. Jadi, politik guru masih banyak.

Guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 3,1 juta orang (BPS, Data Pendidikan 2016/2017). Yang perlu diingat, guru jangan mau menjadi mesin politik. Para politikus pun jangan mempolitisasi guru. Banyak di daerah terjadi ketika bupati tertentu dipilih guru yang belum memenuhi syarat juga diangkat menjadi kepala sekolah. Mari kita koreksi diri masing-masing.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *