Oleh I Nyoman Nala
Di tengah iklim kehidupan sosial yang semakin kompetitif dan di tengah permukiman semakin sesak padat, terutama di perkotaan, hiburan merupakan bagian penting bagi masyarakat. Kehidupan yang dijejali dengan perangkat internet, gawai (gadget), sampai dengan tayangan menyeramkan dari televisi, belum tentu juga mampu memberikan keringanan kehidupan sosial.
Maka, hiburan yang paling penting untuk diperhatikan adalah dunia lawak, lelucon yang dapat mengurangi stres masyarakat. Lawak mengoyak ketegangan yang menempel di otak dan psikologis orang untuk seterusnya mampu memberikan celah untuk berpikir secara lebih nyaman. Lawak menjadi demikian penting dalam perubahan sosial yang semakin cepat. Sampai saat ini, lawak tidak dapat “direkayasa” melalui kecerdasan sosial. Ia muncul spontan dan hal itulah yang menjadi rekaman manusia sehingga dapat disaksikan berulang-ulang.
Pada titik itulah, kini sangat dipentingkan perkembangan dunia lawak di Bali. Kini, jelas pulau ini bukanlah era ketika sepeda dan dokar masih menghiasi jalan raya. Bukan pula ketika di Pantai Kuta kita bebas keluar masuk dengan pandangan leluasa, juga bukan manakala harga satu butir kelapa setara dengan satu kilogram beras Bali.
Kini, Bali adalah pulau dengan pantai yang berjejalan dengan hotel yang entah siapa yang punya, ketika masyarakat melis ke pantai harus bersinggungan dengan turis yang berjemur setengah telanjang, dan ketika pukul 11 malam, anak-anak muda dari pedesaan berdesakan keluar dari kerjanya di hotel di Kuta, Nusa Dua, Sanur dan memenuhi jalan raya menuju rumahnya di pedesaan. Bali kini adalah lokasi di mana tegalan dan ladang di pedasaan, juga sawah-sawah berubah menjadi semak, bahkan belukar.
Desa pakraman juga telah banyak konflik. Masyarakatnya pasti tegang dan bingung menghadapi persoalan seperti ini.
Di situlah perlunya hiburan lawak yang semakin berkualitas, sebuah hiburan yang mampu memberikan, bukan saja lelucon yang mengeluarkan segala kelelahan itu tetapi juga lelucon yang memberikan rasa cerah dan mendidik masyarakat. Tentu saja juga memberi inspirasi.
Perkembangan lawak haruslah mampu berkembang secara lebih baik untuk penghiburan masyarakatnya. Jika boleh diibaratkan, perkembangan lawak haruslah “mendahului” perkembangan masyarakatnya. Lawak harus mampu memberikan contoh dan petunjuk sambil berguyon. Jika wayang memberikan petuah secara filosofi yang “formal” maka lawak mesti memberikan filsafat hidup sambil melucu.
Tetapi di sinilah kelemahan lawak yang ada di Indonesia, tidak ketinggalan dengan Bali. Bahkan kiranya lebih parah lawakan Bali. Kelemahan paling kentara dari lawakan di Bali adalah bahasanya yang kasar. Sungguh, bahasa kasar sekarang bertebaran dipersembahkan oleh para pelawak Bali.
Memang hal itu mampu merangsang penonton untuk tertawa, tetapi sama sekali tidak mendidik dan cenderung melecehkan manusia dan kemanusiaan. Ya, lawak Indonesia mempunyai kelemahan dasar melecehkan manusia dengan, maaf, mengucek-ucek kepala lawan, bahkan ada yang menduduki bagian atas badan dan sejenisnya.
Juga ada lawakan yang merendahkan kondisi difabel atas disabilitas orang tertentu. Ini bukanlah cara bagus apalagi cara terpuji untuk memberikan contoh kebaikan kepada masyarakat. Lawak yang mencaci maki, apalagi dengan bahasa kasar, sungguh tidak mampu memberikan pesan positif kepada penonton, dan bahkan memberikan contoh buruk, juga kepada generasi muda.
Bahasa merupakan alat pertama untuk berinteraksi dengan pihak lain. Jika alat pertama ini tidak mampu memberikan sentuhan positif, maka pendengar juga tidak akan mampu memberikan manfaat positif kepada masyarakat. Justru pisuhan-pisuhan seperti itu menghancurkan tatanan masyarakat pada perkembangan berikutnya.
Orang bisa saja misuhin pihak lain dengan maksud mengguyoninya. Tetapi guyonan dengan lapisan pisuhan itu, amat berpotensi membuat orang tersinggung, dan itu akan menjadikan konflik sosial di masyarakat. Jadi, hindari pisuhan-pisuhan itu di dunia lawak. Para pelawak Bali belajarlah mencari alternatif untuk menyuguhkan bahasa yang baik demi perkembangan sosial masyarakat Bali yang lebih sopan ke depan.
Dedengkot lawak Indonesia, Teguh Srimulat, kurang lebih memberikan “definisi” tentang lawak itu sebagai sebuah pembelokan dari fenomena. Mungkin juga dapat dikatakan sebagai langkah keliru dari sebuah fenomena sehingga orang dapat tertawa.
Tetapi dari konteks ini, tidak berarti keliru itu adalah kasar dan keliru seterusnya atau membenarkan yang salah. Karena itulah, benar juga apabila grup lawak itu minimal mempunyai tiga anggota. Artinya, jika dua orang pelawak berdebat, maka pihak yang ketigalah menjadi penengah. Sang penengah ini dapat membenarkan, memperbaiki, menyalahkan atau malah memancing agar keliru itu menjadi benar.
Grup lawak Kwartet Jaya yang bersinar pada awal dekade tujuh puluhan, mempunyai anggota empat orang (Ateng, Iskak, Bing Slamet, dan Edy Sud). Edy Sud mempunyai peran sebagai penengah ini. Warkop Prambors, awalnya mempunyai empat anggota (Kasino, Dono, Indro, dan Nanu). Setelah Nanu keluar, tinggal bertiga dan Kasino sering mempunyai peran sebagai penengah.
Modernisasi lawak sudah harus dilakukan karena perannya yang demikian sentral saat ini. Apalagi kemudian sekarang muncul pelawak tunggal, Stand-Up Commedy. Pelawak tunggal ini cukup riskan karena bisa nyerocos sendirian, berbahasa kasar, sampai membuat kesalahan tanpa ada yang memberikan penengah.
Karena itulah, pembaruan itu harus dilakukan. Dan salah satu pembaruan itu adalah memiliki diksi kata yang bagus, hindari pisuhan, bahasa kasar, dan merendahkan tubuh manusia.
Di Bali, ketika Arja Bon Bali demikian jaya dekade tujuh puluhan, pelawak Monjong sering menari dengan membuat keliru gerakan-gerakan tarinya. Tanpa membuat definisi lawak seperti Teguh, Si Monjong sudah membuat penonton tertawa, tanpa harus berbahasa kasar.
Tupeng Tugek Carangsari, sepertinya tidak tertandingi sampai sekarang gaya lawakannya. Ia membelokkan orang tertawa …..kokek….kokek….kokek….atau menjawab pertanyaan dengan cara yang salah karena memerankan seorang yang tuli (masih ingat?). Ini jauh sebelum pelawak Bolot muncul di televisi di Indonesia sekarang.
Jadi, membuat keliru itu tidak harus berbahasa kasar. Gerakan tari yang salah, bahasa yang dipelintir (seperti Srimulat) atau keterangan sebuah tempat yang keliru, semuanya akan mampu memancing tawa penonton. Hindarilah bahasa kasar dalam melawak.