DENPASAR, BALIPOST.com – Bali tak boleh lalai mengantisipasi dampak bencana. Belajar dari dampak gempa Lombok dan Palu, Bali mestinya lebih dini melakukan manajemen risiko atas bencana. Bali harus siaga bencana. Mengedukasi masyarakat tetap waspada mestinya segera dilakukan.
Pandangan itu dilontarkan anggota DPRD Bali Dr. Ir. I Made Dauh Wijana, M.M. menyikapi potensi gempa dan likuifaksi di Bali. “Informasi tentang likuifaksi ini penting diketahui publik. Balai mestinya menyikapi informasi ini dengan melakukan pembenahan manajemen tangani bencana,” ujarnya, Rabu (17/10).
Dauh Wijana mengatakan ada banyak hal yang bisa dilakukan menuju Bali siaga bencana. Salah satunya adalah melakukan pengalokasian anggaran bencana yang memadai untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Evaluasi dan melengkapi fasilitas dan prasarana BPBD tentu menjadi hal mutlak. “Korban bencana sering tak bisa diselamatkan karena keterbatasan sarana evakuasi. Bali dan seluruh kabupaten/kota di Bali mestinya belajar dari hal ini. Risiko bencana hendaknya bisa diminimalkan dengan melakukan antisipasi dini,” sarannya.
Ia mengatakan penelitian tentang likuifaksi Bali layak terus dilakukan untuk memetakan kawasan yang rawan bencana sejenis ini. Bali yang dikelilingi lautan dan memiliki wilayah yang berdekatan dengan sesar aktif yakni subduksi lempeng Indo–Asia tentu harus memiliki manajemen risiko bencana yang memadai. “Sebagai destinasi wisata yang merupakan tempat bertemunya banyak warga asing di Bali, kesiapsiagaan Bali mengatasi risiko bencana adalah salah satu indikator yang mesti diperjuangkan,” sarannya.
Cara lain yang bisa dilakukan Bali adalah melakukan revisi atas Perda No. 5/2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Ke depan investasi yang dibangun di wilayah Bali Selatan dan kawasan lainnya mestinya diwajibkan berstandar tahan gempa selain mengadopsi arsitektur Bali. Kenyataannya, kini banyak investasi yang dibangun dengan gaya modern. “Ini yang mestinya dicermati, standar pembangunan hotel mestinya tahan gempa,” sarannya.
Konstruksinya juga harus jelas dan diawasi tim pengendali pembangunan. “Saatnya Bali melakukan kebijakan yang terpola untuk membangun manajemen risiko bencana yang jelas,” sarannya lagi.
Sementara itu, Plt. Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Badung I Wayan Wirya, S.E., M.Si. menyebutkan, sebagai langkah kesiapsiagaan terhadap bencana, pihaknya terus mengefektifkan sosialisasi kegiatan desa tangguh bencana (Destana). Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada masyarakat, supaya masing-masing desa itu tangguh menghadapi bencana.
Tidak hanya melakukan langkah antisipatif, pihak BPBD juga mempersiapkan langkah saat terjadi bencana. Seperti penyiapan dalam hal kedaruratan dan logistik serta penanganan pascabencana seperti rekonstruksi dan rehabilitasi.
Untuk kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana, di wilayah Badung Utara dan Badung Selatan memang memiliki karakter berbeda. Untuk Badung Utara, sosialisasi yang diberikan terkait antisipasi tanah longsor maupun pohon tumbang. Sedangkan untuk Badung Selatan, antisipasi terkait angin kencang dan ombak tinggi.
Terkait penelitian yang menyebutkan kawasan Badung Selatan rawan likuifaksi, pihaknya belum berani memastikan hal tersebut. Yang jelas pihaknya akan tetap mengefektifkan untuk kesiapsiagaan sesuai dengan potensi bencana yang ada di masing-masing wilayah. Untuk di Badung Selatan, pihaknya mengantisipasi dengan penanaman mangrove.
Tidak hanya itu, terkait kesiapsiagaan, pihaknya juga memberikan sosialisasi melalui sekolah aman bencana (SAB). Pihaknya melakukan pemetaan mana sekolah yang kategori rawan terkena bencana. Seperti di daerah Tanjung Benoa, Jimbaran, Kedonganan, Kuta, Legian dan Seminyak. “Seperti di Badung Selatan yang berpotensi bencana ombak besar, angin kencang, bahkan tsunami perlu diantisipasi dengan lima alarm tsunami di Badung,” ucapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)