DENPASAR, BALIPOST.com – Potensi likuifaksi di Bali Selatan perlu disikapi dengan pendekatan ilmiah dan pendekatan Tri Hita Karana yang selama ini sudah membudaya di Bali. Bicara likuifaksi, pakar tata ruang Universitas Udayana Prof. Putu Rumawan Salain mengaku belum pernah mengkaji tentang potensi itu dalam pemanfaatan ruang.
Menurutnya, tata ruang terbagi atas perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Sementara ini yang dilihat baru tentang potensi tsunami, sehingga diatur mengenai sempadan pantai, dan kemungkinan gunung berapi. Sebagai contoh tata ruang di Gunung Batur, memang ada wilayah-wilayah yang tidak diizinkan untuk dimanfaatkan.
Ia menilai perlu dilakukan penelitian terhadap likuifaksi secara lebih intensif di Bali. Ini untuk mengetahui tingkat risiko jika terjadi konsentrasi penduduk dan investasi di atas lahan yang berpotensi likuifaksi.
Data ilmiah terkait hal ini harus teruji. Yang jelas data ini bisa membuat kita di Bali lebih siaga bencana dan memiliki manajemen risiko yang memadai. “Kalau memang ada potensi seperti itu, lebih baik dihindari untuk membangun di atas lahan tersebut. Di Palu contohnya, para ahli sejak tujuh tahun lalu dikatakan sudah menyebut akan terjadi likuifaksi di sana,” jelasnya.
Berdasarkan hasil penelitian ahli, daerah itu tidak pantas dijadikan kota atau dilakukan pengembangan wilayah. Dari sana sebetulnya bisa ditelusuri apa yang mendasari pendapat para ahli tersebut.
Terkait dengan bangun di atas lahan yang berpotensi bencana, termasuk terdampak likuifaksi, ia mengatakan arsitektur tradisional Bali sudah pernah mengalami berbagai kondisi gempa. Dan yang membuat takjub, sebagian besar bangunan berarsitektur Bali tetap berdiri kokoh alias selamat.
Dalam tanda petik, arsitektur tradisional Bali boleh dikatakan sudah teruji oleh waktu. “Saya kan boleh dibilang menjadi saksi hidup. Katakan ketika di Seririt mengalami gempa, hampir sebagian besar bangunan Bali itu selamat,” ujarnya, Rabu (17/10).
Rumawan menambahkan, hal serupa terjadi pula di Yogyakarta saat gempa dahsyat pada 2006 lalu. Gempa Yogyakarta juga menyisakan gedung-gedung tradisi seperti bangunan tradisional Jawa dan pendopo.
Sementara bangunan dengan struktur beton atau rangka baja malah roboh. “Menurut saya, hubungan di masing-masing struktur bangunan tradisi itu sangat dinamis, tidak statis. Sedangkan konstruksi bangunan modern itu statis, sehingga kalau salah meletakkan posisi struktur, kalau tidak retak ya… kolaps atau roboh,” jelasnya.
Kendati demikian, lanjut Rumawan, tidak bisa juga langsung dikatakan bahwa bangunan modern memiliki daya tahan yang buruk terhadap gempa. Sepanjang pengetahuannya di lapangan sebagai seorang praktisi, beban ataupun ketahanan bangunan pada skala gempa tertentu sebetulnya sudah dihitung.
Teknologi terbaru di Jepang, fondasi bangunan dibuat elastis mengikuti gerak agar pada saat gempa tidak roboh. Tetapi teknologi itu pun diyakini hanya bertahan pada skala gempa tertentu dan tidak ada tsunami. “Apalagi ada likuifaksi, bisa hanyut seperti di Palu. Orang Bali itu sudah sangat hebat melakukan filosofi Tri Hita Karana, bersahabat dan harmoni dengan alam. Tapi kalau alam sudah marah, kita tidak bisa ngapa-ngapain lagi,” imbuh akademisi Universitas Udayana ini. (Rindra/balipost)