Gambar garuda yang menyerupai lambang negara RI dipakai sebagai cap stempel invoice toko-toko jaringan Tiongkok. (BP/ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali dijual murah, bukan hanya sekedar isu di lapangan belaka. Ini dibuktikan langsung Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang melakukan sidak ke 4 toko jaringan Tiongkok di Jl. By Pass Ngurah Rai, Kamis (18/10).

Rombongan Wagub yang akrab disapa Cok Ace ini bahkan sempat dihalang-halangi masuk oleh petugas keamanan toko. Ketika berhasil menerobos, toko-toko itu diakui tidak ada yang menjual produk khas Bali. Parahnya lagi, gambar Garuda yang menyerupai lambang negara RI justru dipakai untuk cap stempel pada invoice toko-toko tersebut.

“Kita coba tadi melihat di 4 toko, tapi kita masuk di 3 toko karena satunya kayaknya sudah dipersiapkan semua. Ada beberapa hal yang kita lihat bahwa betul ada toko yang menjual latex, silk (sutera) dan Kristal,” ungkap Cok Ace saat tiba di Kantor Gubernur Bali usai melakukan sidak.

Cok Ace merasa agak aneh saat melihat satu dari empat toko itu menjual latex di Bali. Apalagi, barang-barang latex seperti kasur dan bantal yang semuanya dari Tiongkok itu dijual kepada wisatawan Tiongkok.

“Alurnya pun, mereka wisatawan dimasukkan dalam satu ruangan dulu, dikasi penjelasan. Kemudian mencoba latexnya. Saya fikir tadi mau spa tidur-tiduran di latexnya itu,” jelasnya.

Baca juga:  Kunjungi Jatiluwih, Mantan Presiden Hungaria János Áder Kagumi Keindahan Terasering

Di toko kedua yang menjual sutera, lanjut Cok Ace, juga menerapkan pola sama. Ada ruangan yang disediakan sebagai tempat untuk melakukan presentasi kepada wisatawan. Kemudian, ada foto Presiden RI Joko Widodo, Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan tokoh lain yang dipasang tengah mengenakan baju batik.

“Saya yakin itu batik Indonesia. Tapi disampingnya justru yang dijual bukan dari Indonesia. Saya khawatir (foto presiden mengenakan batik, red) menjadi bahan promosi seolah-olah disejajarkan, yang dipakai presiden RI, ini lho barangnya. Kalau saya sepintas, wisatawan melihat seolah-olah begitu jadinya,” papar Ketua PHRI Bali ini.

Cok Ace menambahkan, ada pula toko yang menjual obat-obatan. Rasa curiga muncul saat penjaga toko langsung menggulung dan membungkus barang dagangan ketika dirinya bersama rombongan datang. Kalau memang tidak ada persoalan, mestinya tidak perlu ada aksi seperti itu. “Terakhir, kita melihat toko Kristal, itu sama. Mungkin kita agak terlambat sedikit, mereka tahu kita datang. Agak megrudugan larinya. Hanya (berhasil) menangkap satu (penjaga toko),” imbuhnya.

Di semua toko, Cok Ace menyebut para pekerja merupakan tenaga kerja Tiongkok. Pihaknya memaklumi jika mereka menjadi tim ahli di sana. Namun nyatanya menjadi penjaga toko, sehingga muncul dugaan mereka menggunakan visa wisatawan untuk bekerja.

Baca juga:  Pariwisata Terlalu Dimanja, Bali Dikepung Banjir dan Tanah Longsor

Kemudian untuk transaksi, para penjaga toko sempat mengaku transaksi dilakukan dalam rupiah. Tapi pihaknya sempat melihat transaksi dilakukan memakai aplikasi WeChat. Unsur pemaksaan juga tampak dalam pola belanja di toko-toko tersebut.

Setidaknya ada 10 toko jaringan Tiongkok, termasuk 4 toko yang disidaknya bersama GIPI Bali, ASITA Bali, dan HPI Bali.

“Satu lagi yang sangat menyedihkan kita, dia pakai stempel Garuda untuk menguatkan di invoice-nya bahwa ini jaminan Indonesia. Seolah-olah kalau saya menjadi wisatawan, dengan stempel Garuda ini menguatkan bahwa ini jaminan Indonesia,” terangnya.

Cok Ace mengaku akan membicarakan lagi masalah ini bersama pihak terkait dengan lebih detail untuk tindakan selanjutnya. Tentu ada ancaman pidana bila memang ada pelanggaran ijin kerja, imigrasi, atau barang dagangan.

Sementara ini, pihaknya memang baru menelusuri cara toko-toko jaringan Tiongkok ini mencari uang untuk mensponsori wisata murah ke Bali. Sebab, mereka rupanya tidak bermain pada hotel karena hotel tetap dibayar. Kalaupun harganya ditekan, itu lebih karena over suplai hotel di Bali. Namun yang jelas, persoalan ini tetap akan merusak citra pariwisata Bali.

“Kita dirugikan dari segi transaksi, dari sisi tenaga kerja, devisa, hampir semua dirugikan kita. Ada beberapa negara juga sedang mengalami seperti yang kita alami disini, ya tidak ada salahnya kita belajar pada negara-negara yang sudah berhasil mengatasi persoalan ini,” pungkasnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Baru Nasional Capai Empat Ribuan Orang

Sebelumnya diberitakan, Ketua Divisi Bali Liang (Pangsa Pasar Mandarin) Asita Bali, Elsye Deliana mengungkap Bali dijual murah di Tiongkok sejak 2-3 tahun terakhir. Diduga ada permainan mafia sangat merugikan Bali. Data setahun terakhir, Bali hanya “dijual” seharga 999 renminbi atau sekitar Rp 2 juta. Harga miring tersebut sudah termasuk tiket pesawat pergi-pulang, makan dan menginap di hotel selama 5 hari 4 malam.

Belakangan, harga itu bahkan sudah turun menjadi 777 renminbi atau sekitar Rp 1,5 juta. Lalu turun lagi menjadi 499 renminbi atau sekitar Rp 1 juta dan yang teranyar 299 renminbi atau sekitar Rp 600 ribu. Wisatawan Tiongkok hanya satu hari saja diajak berkunjung ke objek wisata selama di Bali. Selebihnya, mereka diajak keluar masuk artshop milik pengusaha Tiongkok pula. Artshop-artshop milik pengusaha Tiongkok itu justru tidak menjual barang-barang kerajinan khas Bali. Tapi malah menjajakan barang-barang berbahan latex seperti kasur, sofa, dan bantal. Toko-toko inilah yang disebut mensubsidi wisatawan Tiongkok sehingga mendapat harga murah untuk datang ke Bali. (rindra/balipost)

 

 

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *