Berita tentang bencana lebih dari sebulan belakangan menjadi topik utama media massa. Bencana yang tak bisa diprediksi kapan datangnya ini telah merenggut ribuan nyawa dan tak terhitung lagi kerugiannya. Bencana sejatinya tetap mengintai kehidupan manusia, mengingat bumi juga terus bergerak.
Namun, bencana tetap harus kita waspadai dan kita harus berada dalam posisi tanggap. Kita tentu tak boleh mengeluh dan menyalahkan alam ketika bencana datang. Manusia harus melakukan upaya yang memungkinkan kita selamat jika bencana datang.
Belajar dari beragam bencana yang terjadi belakangan ini, maka Bali tentu juga harus berbenah. Badan penanggulangan bencana jangan lagi dianggap lembaga kelas dua dan tak dianggap strategis. Kini, ketika bencana intensitasnya meningkat peran lembaga ini justru sangat strategis. Kepedulian dan perhatian terhadap lembaga ini harus dibangun.
Fasilitas, sarana dan prasarana harus memadai. Dana cadangan untuk penanggulangan bencana juga harus memadai. Ini baru dari sisi peralatan dan dukungan dana.
Dalam menuju siaga bencana hal terpenting yang harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat tanggap bencana. Masyarakat harus memiliki kesadaran dan manajemen mandiri untuk menyelamatkan diri. Untuk itulah, pendidikan tentang kebencanaan mestinya mulai diajarkan.
Tentu membuat orang tanggap bencana tak bisa hanya lewat jalur formal pendidikan di kalangan informal juga harus dilakukan. Model pembelajaran untuk membuat masyarakat sadar dan tanggap bencana bisa dilakukan dengan berbagai pelatihan.
Lalu, Bali yang juga merupakan pulau yang rawan bencana baik tektonik maupun vulkanik tentu harus melakukan upaya-upaya yang lebih jelas. Terlebih Bali menjadi destinasi pariwisata internasional yang memungkinkan di wilayah ini berkumpul jutaan warga asing.
Maka, Bali haruslah menjadi pulau yang tanggap dan tangkas hadapi bencana. Bali tak boleh lalai mengantisipasi dampak bencana. Belajar dari dampak gempa Lombok dan Palu, Bali mestinya lebih dini melakukan manajamen risiko atas bencana. Bali harus siaga bencana. Mengedukasi masyarakat tetap waspada mestinya segera dilakukan.
Terkait dengan informasi tentang likuifaksi yang terjadi di Bali juga penting diketahui publik. Pemerintah Bali mestinya menyikapi informasi ini dengan melakukan pembenahan manajemen tangani bencana. Tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan menuju Bali siaga bencana. Salah satunya adalah melakukan pengalokasian anggaran bencana yang memadai untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Evaluasi dan melengkapi fasilitas dan prasarana BPBD tentu menjadi hal mutlak.
Penelitian tentang likuifaksi Bali layak terus dilakukan untuk memetakan kawasan yang rawan bencana sejenis ini. Bali yang dikelilingi lautan dan memiliki wilayah yang berdekatan dengan sesar aktif yakni subduksi lempeng Indo–Asia tentu harus memiliki menajemen risiko bencana yang memadai. Saatnya, Bali melakukan kebijakan yang terpola untuk membangun manajemen risiko bencana yang jelas.
Potensi likuifaksi di Bali Selatan juga perlu disikapi dengan pendekatan ilmiah dan pendekatan Tri Hita Karana yang selama ini sudah membudaya di Bali. Perlu dilakukan penelitian terhadap likuifaksi secara lebih intensif di Bali. Ini untuk mengetahui tingkat risiko jika terjadi konsentrasi penduduk dan investasi di atas lahan yang berpotensi likuifaksi.
Data ilmiah terkait hal ini harus teruji. Yang jelas, data ini bisa membuat kita di Bali lebih siaga bencana dan memiliki manajemen risiko yang memadai. Kalau memang ada potensi seperti itu, lebih baik dihindari untuk membangun di atas lahan tersebut.
Maka, hal terpenting yang dilakukan Bali adalah melakukan pembenahan manajemen bencana serta melakukan kajian yang intensif terkait potensi bencana. Pendekatan secara ritual mestinya juga menjadi langkah strategis mengingat kita hidup sebagai umat beragama yang meyakini kebesaran Hyang Mahakuasa.