SINGARAJA, BALIPOST.com – Topografi wilayah Buleleng yang dikenal dengan istilah Nyegara Gunung (berbukit dan memiliki batas pantai), membuat daerah ini masih mengalami permasalahan ketersedian air bersih. Dari sembilan kecamatan, tujuh diantaranya masuk daerah rawan mengalami krisis air bersih.
Kondisi ini tidak terhindari karena ketika musim kemarau debit air sumber mata air baku turun dan bahkan mati total. Selain itu, manajemen pengelolaan air bersih di wilayah ini masih mengalami permasalahan teknis.
Data dikumpulkan di Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Buleleng menyebut tujuh kecamatan yang masuk kategori rawan krisis air bersih diantaranya Kecamatan Gerokgak meliputi Desa Sumberkima, Penyabangan, Patas, Gerokgak, Celukan Bawang, dan Desa Sumberkelampok. Kecamatan Busungbiu diantaranya Desa Sepang, Sepang Kelod, Tista, dan Desa Pucaksari.
Kecamatan Seririrt yakni Desa Munduk, Bestala, Ularan, Lokapaksa, Kalisada, Desa Pangkungparuk. Di Kecamatan Banjar diantaranya Desa Pedawa, Tigawasa, Sidatapa, dan Desa Cempaga.
Sementara di Kecamatan Kecamatan Sukasada meliputi Desa Wanagiri, Pegayaman, Silangjana, Kayuputih, Selat, dan Desa Tegallinggah. Kecamatan Kubutambahan yakni Desa Tambakan, Bukti, Mengening, Tunjung, Depaha, dan di Desa Pakisan. Selain itu di Kecamatan Tejakula diantaranya Desa Sembiran, Julah (bagian atas), Desa Tembok, dan di Desa Sambirenteng (bagian bawah)
Kepala Dinas PUPR Ketut Suparta Wijaya, Jumat (18/10) mengatakan, persoalan krisis air bersih ini bukan masalah baru. Tetapi masalah ini muncul sejak lama dan bahkan desa yang masuk rawan krisis air bersih itu menjadi langganan setiap musim kemarau panjang.
Sejak itu, pemerintah sudah melakukan kajian agar masalah ini bisa diatasi. Kajian itu menunjukan kalau ancaman krisis air bersih itu karena debit air sumber mata air baku yang ada di desa-desa itu tidak mencukupi kebutuhan semua warga.
Bahkan, ketika puncak musim kemarau panjang, sumber mata air baku itu padam total. Selain karena kecilnya debit air, kajian menunjukkan bahwa jaringan pipa air bersih belum optimal seperti banyaknya kebocoran, sehingga diatribusi air bersih menjadi tidak optimal.
Tak hanya itu, setiap desa, pengelolaan air bersihnya belum optimal karena lemahnya kinerja sumber daya manusia (SDM). “Rawan dan berpotensi mengalami krisis air bersih itu dari sejak berapa tahun dan kami sudah mengkaji dan penyebabnya karena sumber air kecil dan manajemen pengelolaan yang masih belum optimal,” katanya.
Di sisi lain Suparta Wijaya mengatakan, penanganan masalah krisis air bersih ini dilakukan dengan memanfaatkan anggaran APBD, bantuan Pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah pusat. Bantuan ini selain perbaikan jaringan pipa atau memberikan bantuan kepada desa membangun sumur bor.
Khusus untuk menambah debit air dengan sumur bor ini, dilakukan dengan menghibahkan kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Buleleng. Terkait penanganan ketika terjadi krisis air bersih, untuk sementara ditangani dengan bantuan air tangki bekerjasama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan PDAM Buleleng. “Setiap tahun kita upayakan melaksanakan program air bersih. Selama ini masih ada yang belum tuntas karena situasi dan situasi topografi di daerah kita yang banyak berbukit, dan selain menyulitkan distribusi air bersih,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)