Bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa. Ini sudah pemahaman umum. Keragaman bahasa ibu yang ada di negeri ini tak membuat penuturnya melakukan fanatisme berlebihan. Demi persatuan dan kesatuan bangsa, mereka sepakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Komitmen terhadap bangsa ini pun bisa diterjemahkan dengan sejauh mana kita menghormati dan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Kecintaan kita terhadap bahasa juga menjadi salah satu tolok ukur sejauh mana kita menghargai peradaban bangsa ini.
Peradaban dalam konteks ini juga terkait dengan terbangunnya rasa nasionalisme dalam bingkai persatuan Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai pengikat keberagaman NKRI tentulah harus kita hormati dan kita banggakan sebagai bahasa nasional kita.
Dalam konteks ini, membudayakan bahasa Indonesia secara baik dan benar pada bulan Oktober adalah hal wajib. Kita tak boleh abai memperingati bulan bahasa dengan berbagai bentuk agenda dan jabarannya.
Bulan bahasa yang dulu sangat populer di kalangan siswa kini patut kita akui gaungnya meredup. Bahkan, lembaga yang menangani bahasa Indonesia yang dulu sangat populer kini tenggelam seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi.
Kita sebagai bangsa yang menyebut diri memiliki peradaban tentu sangat wajar dan wajib menghormati bahasa Indonesia jika ingin peradaban bangsa ini tetap terjaga.
Oleh karena itu, melalui bulan bahasa (bulan Oktober) ini, hendaknya kita kembalikan jati diri dan identitas bangsa kita melalui kegiatan berbahasa (lisan atau tulisan) secara baik dan benar. Utamakanlah berbahasa Indonesia karena bahasa Indonesia memiliki sejarah yang teramat penting dalam perjalanan bangsa ini meraih kemerdekaan.
Mengutamakan berbahasa Indonesia bukan berarti mengabaikan penggunaan bahasa lain. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu tetap harus dilestarikan. Bahasa asing sebagai bahasa pergaulan internasional perlu juga kita pelajari.
Apalagi, bahasa Indonesia bersifat dinamis dan terbuka untuk menerima masukan dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Kedua jenis bahasa tersebut masih sangat diperlukan untuk menambah khazanah kosa kata bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika dalam bahasa Indonesia sendiri kosa kata itu telah tersedia, sudah semestinya kita mengutamakan penggunaan kosa kata bahasa Indonesia yang telah tersedia.
Peribahasa Indonesia mengatakan, “bahasa menunjukkan bangsa” yang berarti budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik-buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Peribahasa ini patut kita pahami dan terjemahkan dalam perilaku berbahasa.
Tentu tak hanya bahasa Indonesia yang harus kita budayakan. Bahasa ibu juga harus tetap kita lestarikan mengingat ini menjadi cikal bakal kita mengenal peradaban dan budaya. Kini, kebanggaan generasi menggunakan bahasa ibunya juga mulai bergeser.
Kondisinya menjadi kian parah manakala sistem pendidikan tidak lagi menyediakan cukup ruang bagi pengajaran bahasa Bali. Masih belum hilang dari ingatan, mata pelajaran bahasa Bali sempat mau diintegrasikan ke dalam mata pelajaran seni budaya dalam Kurikulum 2013.
Hal ini telah pula berimbas pada tidak keluarnya Uji Kompetensi Guru (UKG) Bahasa Bali dan diarahkan ke UKG Seni Budaya. Sementara itu, bahasa Jawa dan Sunda dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran bahasa daerah dan UKG daerah tersebut dilaksanakan sesuai bidangnya masing-masing.
Maka ketika Gubernur Bali Wayan Koster mencanangkan gerakan peduli aksara dan bahasa Bali, terobosan ini patut diapresiasi. Kecintaan kita terhadap bahasa ibu adalah hal wajib juga yang kita tularkan kepada generasi bangsa ini. Kita tentu sangat yakin bahasa ibu dalam hal ini bahasa Bali adalah pengikat kita terhadap kebudayaan, tradisi serta ritual yang kita lakukan. Maka wajarlah kita harus membangun perdaban ini dengan membangun kecakapan berbahasa secara baik, arif, dan benar.