IHSG
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Ramantha

Mata uang rupiah kembali bergerak melemah menjadi Rp 15.215 per dolar AS pada Senin, 15 Oktober 2018. Banyak ekonom memprediksi mata uang rupiah masih rentan pelemahan dan mungkin dalam jangka panjang akan ada pada nilai keseimbangan baru terhadap dolar AS.

Kondisi ini di samping dipengaruhi faktor global berupa perang dagang antara Amerika dan China, nampaknya juga disebabkan oleh kondisi internal, berupa defisit neraca pembayaran akibat melemahnya ekspor dan  digenjotnya pembangunan infrastruktur yang banyak membutuhkan barang modal dari luar negeri.

Bagi perekonomian nasional, melemahnya nilai tukar rupiah memang harus menjadi perhatian serius, karena nilai tukar mata uang merupakan salah satu indikator penting bagi perekonomian negara. Sejarah panjang nilai tukar rupiah, terutama terhadap dolar AS, selalu mengingatkan kita pada situasi ketika menjelang era reformasi di negeri ini.

Nilai tukar rupiah yang semula ada di kisaran Rp 2.100 per dolar AS waktu itu, dalam hitungan hari berubah menjadi Rp 2.500, kemudian dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, melonjak hingga mencapai Rp 16.000

Menyikapi fenomena lonjakan kali ini, pemerintahpun segera mengambil langkah merevisi asumsi nilai tukar rupiah pada RUU APBN tahun 2019, dari semula dirancang Rp 14.500 menjadi Rp 15.000 per dolar AS. Langkah itu diambil karena dari pengamatan dalam beberapa pekan, belum ada tanda-tanda penguatan dari mayoritas mata uang utama Asia, kecuali Rupee India, Yen Jepang, dan Bath Thailand.

Baca juga:  Forum Kerjasama dan Pengembangan Bisnis Asia-AS-Eropa Pertama Digelar di Bali

Demikian juga dari diskusi 189 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dalam pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali 8-14 Oktober yang lalu, sebagian besar memprediksi kebijakan The Fed menaikkan suku bunga akan berlanjut hingga tahun 2019.

Memang situasi ekstrem seperti yang pernah terjadi menjelang reformasi dulu, tidaklah mungkin akan terjadi saat ini. Negara kita memiliki fundamental ekonomi yang masih relatif kokoh. Cadangan devisa, walaupun tidak setinggi China, masih cukup untuk dipergunakan sebagai alat intervensi pasar, kalau memang betul-betul diperlukan.

Di balik itu, banyak hikmah yang seharusnya bisa dipetik dari kondisi ini. Ketergantungan terhadap produk-produk impor, apalagi yang bersifat konsumtif, pasti akan semakin melemahkan perekonomian nasional, terutama bila terjadi negatif ekspor. Kini saatnya komoditas-komoditas dalam negeri kembali ditingkatkan perannya. Minimal dia dapat bersaing di pasar domestik.

Dampaknya bagi Bali

Bagi perekonomian daerah Bali yang mengandalkan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, belum tentu berdampak negatif. Apalagi sub sektor perdagangan di daerah ini didominasi oleh perdagangan luar negeri (ekspor) dalam jumlah yang cukup signifikan.

Perekonomian Bali di satu sisi seharusnya diuntungkan oleh menguatnya dolar AS. Wisatawan mancanegara semestinya lebih panjang masa tinggalnya. Juga mereka akan membelanjakan uangnya lebih banyak lagi, baik untuk restoran maupun cindera mata, karena harga barang dan jasa kita dirasakan lebih murah.

Kondisi yang demikian, bila berlangsung lama tidak hanya dinikmati oleh sektor PHR saja, tetapi juga akan berdampak ganda bagi sektor-sektor lainnya. Sektor bangunan, listrik dan air, juga jasa-jasa, akan menjadi semakin meningkat pertumbuhannya karena memperoleh multiplier effect dari penguatan sektor PHR.

Baca juga:  Cerdas dan Bijak Mengelola Informasi

Investasi akan semakin meningkat, terutama dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN). Investasi tanpa melalui fasilitas penanaman modal oleh masyarakat lokal pun akan semakin bergairah. Masyarakat Bali kemudian menjadi lebih meningkat daya belinya, sehingga selanjutnya, indikator-indikator ekonomi yang lain akan semakin meningkat pula.

Sayangnya, fenomena ini belum banyak memberi signal positif bagi instansi teknis, dunia usaha dan masyarakat luas di daerah Bali. Padahal begitu mulai bekerja, Gubernur Bali yang baru, telah memerintahkan agar sektor pertanian dan industri segera diperkuat. Dalam Focus Group Discussion (FGD) merespons instruksi Gubernur itu, telah disimpulkan perlunya sinergi simbiosis mutualistik antara sektor pariwisata, pertanian dan industri.

Sektor industri kerajinan yang pernah maju beberapa tahun yang lalu, kini waktunya untuk ditingkatkan daya saingnya, karena di pasar ekspor harganya akan terasa lebih murah. Komoditas-komoditas pertanian yang berorientasi ekspor, juga perlu ditingkatkan kualitas, kuantitas dan kontinyuitasnya, seiring dengan menguatnya nilai tukar dolar AS.

Industri kreatif berbasis budaya Bali yang merupakan keunggulan komparatif daerah ini, harus kembali digali. Pada umumnya orang kita memiliki latar belakang sebagai pengerajin atau penggiat seni. Semula kerajinan merupakan persembahan untuk menunjang ritual atau ibadah agama, selanjutnya berkembang menjadi aktivitas ekonomi kreatif yang definisinya dikembangkan oleh John Howkins (1990). Ekonomi kreatif, termasuk dalam industri kerajinan, telah berkembang di Bali jauh sebelum tahun 1990 dengan berbasis pada kearifan budaya lokal.

Baca juga:  Bukan Tanda Kiamat

Di tingkat nasional, pemerintah kini sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekonomi Kreatif.

Dengan berlakunya UU itu nanti, di masing-masing daerah akan terbentuk Badan Kreatif Daerah yang dibiayai APBD. Badan inilah bersama instansi terkait bertugas memuliakan industri seni dan kerajinan yang pernah menjadi “pahlawan” devisa bagi perekonomian Bali. Untuk urusan seperti ini, dibandingkan dengan daerah lain, Bali biasanya menjadi yang terdepan. Misalnya, saat pemerintah pusat buat program OVOP (One Village One Product) di tahun 2000-an, program yang sama sudah ada di Kabupaten Gianyar sebelum zaman kemerdekaan.

Desa-desa di kabupaten ini telah memproduksi barang-barang seni dan kerajinan yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya sebelum tahun 1945. Kini di saat dolar AS menguat, sepantasnya keunggulan itu digali kembali.

Secara teoritis, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama dunia, sejatinya merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, pertanian dan industri. Meratapi turunnya nilai tukar rupiah akibat faktor yang tidak bisa dikendalikan (uncontrollable), cenderung tidak ada manfaatnya. Momentum ini harus dipetik hikmah positifnya, dengan cara merevitalisasi dan mengembalikan kejayaan produk-produk pertanian dan industri kerajinan Bali, seperti yang pernah dialaminya di masa lalu.

Penulis, Guru Besar FEB Unud, warga Batubulan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *