kerajinan
Perajin bambu di Kayubihi sedang mengerjakan produk kerajinan berupa nampan. (BP/dok)

Belakangan ini ekonomi Indonesia dapat banyak sorotan. Selain alami kelesuan dalam daya beli masyarakat, keterpurukan nilai rupiah juga dikeluhkan. Namun pemerintah tetap optimis, perekonomian Indonesia tetap membaik ditopang perekonomian global 2018 yang diprediksi meningkat.

Kondisi pasar yang lesu saat ini disebabkan sejumlah faktor. Faktor eksternal, mulai dari pergeseran kebijakan moneter bank-bank sentral besar dunia, tensi perang dagang antara Amerika dengan Tiongkok. Sementara di dalam negeri, tekanan datang dari defisit perdagangan dan neraca berjalan.

Ditambah lagi pertumbuhan konsumsi masyarakat yang terus melambat tahun ini. Menghadapi kondisi perekonomian saat ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan akan memperketat kebijakan moneternya. Dengan kebijakan ini, dalam beberapa waktu ke depan tidak akan ada penurunan suku bunga acuan. Pengetatan kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Sentral di negara maju, khususnya Amerika.

Baca juga:  Politikus Terdidik yang Mendidik

Menyesuaikan dengan kebijakan bank-bank sentral di negara maju, BI memutuskan menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin menjadi 4,75 persen. Sebelumnya, Mei lalu BI telah menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Ini dilakukan untuk menjaga pergerakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi agar sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah.

Dalam jangka pendek, ini juga untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang kini mencapai 14.400 per dolar AS. Namun yang mesti mendapat perhatian BI bukanlah fokus hanya pada penguatan nilai tukar, melainkan menjaga stabilitas nilai tukar. Sebab, stabilitas rupiah menjadi perhatian penting para investor untuk memutuskan investasinya di tanah air. Stabilitas yang tidak menentu akan membuat investor wait and see.

Baca juga:  Habibie: Penguasaan Produk Dalam Negeri Jangan Didominasi Asing

Pertumbuhan ekonomi global diprediksi membaik, tidak lepas dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang. Selain itu, pertumbuhan ekspor dan perbaikan konsumsi serta masih kuatnya perdagangan komoditas global seperti minyak. Terlebih konsumsi pemerintah yang meningkat, konsumsi swasta yang stabil dan kinerja ekspor yang membaik.

Karena itu, di tengah keterpurukan nilai tukar rupiah ini, ekspor minyak dan gas (migas) dapat dipakai pelipur. Demikian halnya ekspor nonmigas seperti hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan hasil industri seperti furnitur dan aneka kerajinan, masih dapat diandalkan menyumbang devisa negara. Khusus Bali yang mengandalkan pariwisata dan ekspor non-migas bisa mengambil berkah dari melorotnya kurs rupiah ini. Sektor pariwisata dan ekspor non-migas bisa dipacu lagi untuk mendatangkan dolar sebanyak-banyaknya.

Baca juga:  Triwulan II 2022, Ekonomi Bali Tumbuh 3,04 Persen

Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Tinggal sekarang realisasinya serta komitmen para pengambil keputusan dan pelaku pasar. Mereka mesti sejalan dengan rencana pmerintah dalam penguatan pasar dalam negeri. Pasar yang besar ini jangan sampai didominasi dengan produk-produk dari luar negeri.

Masyarakat Indonesia mesti mencintai produknya sendiri, seperti halnya warga Jepang. Mereka sangat mencintai produknya, walaupun harus mengeluarkan uang lebih besar. Sebab, tanpa ‘’kesetiaan’’ anak bangsa untuk menggunakan produk dalam negari, niscaya akan makin besar serbuan barang dari luar negeri. Akibatnya, tentu produk dalam negeri akan kalah bersaing dan lama kelamaan akan mati.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *