Umat Hindu menggelar persembahyangan. (BP/dok)

Oleh I Gst. Ngr. Bagus Suryawan, ST., S.Ag., MM.

Jiwa, begitulah kata itu berasal dari bahasa sansekerta, dan yang dimaksudkan jiwa di sini adalah atma yang menempati tubuh sehingga atma yang bersifat universal itu seolah-olah menunjukkan sifat pribadi sesuai tubuh yang ditempatinya. Karena atma itu menempati tubuh, baik itu tubuh manusia, hewan, maupun tumbuhan, maka ia dipanggil dengan sebutan jiwa atau sering juga disebut jiwatma.

Dalam hal ini yang dimaksudkan tubuh adalah tubuh manusia, agar dapat  membedakan karakter antara manusia, binatang, maupun tumbuhan. Walaupun atma yang universal ini menempati badan individu dengan sebutan jiwa, ia tidak mengalami perubahan karakter aslinya, dan jiwa yang menempati tubuh ini ibarat bayangan yang terlihat di air.

Sekalipun airnya dicemari dengan sampah dan kotoran, bayangan sang jiwa di air sama sekali tidak terganggu atau ikut terkotori. Jiwatma yang berstana di dalam tubuh itu memiliki karakter tidak dapat disentuh, tidak dapat disakiti, tidak dapat dikeringkan oleh angin, tidak dapat dibasahi oleh air, tidak dapat dilukai oleh senjata apapun, tidak terbakar oleh api, langgeng dan abadi selamanya, tidak terpengaruh oleh aktivitas apapun yang dilakukan makhluk hidup di bumi ini, sebagai saksi abadi, selalu puas, selalu penuh karunia (bliss), selalu diliputi oleh kebahagiaan, lalu bagaimana mungkin atma atau jiwa itu bisa dikatakan mengalami gangguan atau sakit?

Baca juga:  Menjiwai Karakter Topeng

Walaupun dunia kedokteran di Indonesia memperkenalkan istilah penyakit jiwa, tetapi sesungguhnya tidak ada jiwa yang bisa disakiti, karena jiwa dilapisi oleh sarung maya. Dalam bahasa sansekerta tidak dikenal istilah penyakit jiwa, dan kalau ada orang yang terganggu secara non-fisik, itu kecenderungannya disebut sebagai penyakit mental yang dalam bahasa sansekerta bisa diistilahkan dengan kata “manastapah“ atau dalam bahasa Inggrisnya juga dikenal dengan istilah mental disorder atau mental distress ataupun mental pain.

Dalam kitab Veda, Svetasvatara Upanisad (5.9) dinyatakan bahwa ukuran roh atau jiwa itu sepersepuluh ribu ukuran ujung sehelai rambut, dan ini diulas oleh Swami Prabhupada didalam Bhagavad Gita, seloka 2.17. Atma atau jiwa yang menempati tubuh itu disarungi dengan lima lapisan (layer), dan untuk dapat melihat atma harus memiliki mata batin yang mampu menembus lima sarung yang melapisinya.

Atma ini digambarkan bagaikan bunga api, dan Tuhan digambarkan sebagai api. Baik bunga api (atma) yang muncul dari api (Tuhan) ini memiliki sifat yang sama. Atma ini juga sering disebut dewa, dan Tuhan disebut Mahadewa, karena itu baik dewa atau Mahadewa memiliki sifat atau karakter yang sama, kekal dan abadi selamanya. Adapun lima sarung (layer) yang menyelubungi atma atau jiwa itu juga dikenal dengan istilah Panca Maya Kosha, yang merupakan lima selubung maya berikut ini.

Baca juga:  Setahun, Korban Jiwa Akibat Lakalantas Meningkat

Pertama, atma atau jiwa dilapisi oleh sarung yang paling dalam, yang paling dekat dengan atma yang dikenal dengan  Ananda Maya Kosha. Ananda berarti bahagia, dan lapisan ini boleh dianggap sebagai karakternya atma yang penuh karunia(full blessing), penuh belas kasih(full of compassion), dan selalu diliputi kebahagiaan spiritual (full of bliss). Lapisan Ananda Maya Kosha sesungguhnya merupakan dasar akan keberadaan empat sarung jiwa lainnya, dan tanpa lapisan ini sarung yang lain tidak berguna.

Sarung kedua terdekat dengan atma  atau jiwa adalah Wijnana Maya Kosha. Bila lapisan ini termurnikan, tidak dikaburkan oleh perbuatan buruk maka seseorang akan merasakan adanya kecerdasan spiritual, yang menjadikan seseorang dapat berprilaku bijak, dapat membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang sementara dan mana yang abadi, dan lapisan ini juga dikenal dengan istilah lapisan budhi.

Tertutupnya lapisan kebijaksanaan inilah yang menyebabkan seseorang menjadi ego dan tidak bijak. Dan bila lapisan ini tidak ada, maka tiga lapisan luar berikutnya tidak memiliki makna juga.

Sarung ketiga yang melapisi atma atau jiwa adalah lapisan mental. Lapisan mental ini terbentuk oleh sesuatu yang  sangat kompleks, di mana lapisan ini  bercampur dengan pikiran, keinginan, emosi, ambisi, nafsu dan berbagai akibat dari buah karma. Lapisan ini juga dipengaruhi oleh makanan yang dimakan, apakah ia bersifat saktwik,  rajas atau tamas, dan semua itu akan ikut menentukan sifat atau karakter seseorang. Makanan dan minuman yang satwik seperti sayur, kacang, umbi, biji, buah–buahan, sedikit susu, dan air memiliki sifat untuk mendamaikan.

Baca juga:  GPDRR dan Arsitektur Tradisional Bali

Makanan dan minuman yang rajas seperti ikan, daging, telor, bawang, alkohol, dan beberapa minuman lain akan dapat menimbulkan dorongan yang bersifat resah, energik, liar dan bergairah. Karena itu, orang yang ingin menekuni spiritual haruslah berusaha menghindari makanan yang bersifat rajas dan tamas.

Begitu juga dengan makanan yang bersifat tamas, makanan yang sudah tidak layak dimakan, bersifat busuk atau basi akan menimbulkan sifat pemalas, dan malas ini adalah musuh dari yoga. Lapisan mental ini juga dikenal dengan istilah Mano Maya Kosha. Kesalahan menata pikiran, keinginan, emosi, ambisi,  nafsu dan perilaku lainnya akan bisa membuat mental tidak harmonis yang pada akhirnya bisa menimbulkan gangguan atau sakit mental (manastapah).

Penulis, pesiunan pegawai Telkom, asal  Bedulu, Gianyar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *