Ilustrasi PNS. (BP/dok)

Oleh Romi Sudhita

Setiap orang perlu dan harus bekerja (kecuali anak-anak yang belum dibolehkan bekerja). Oleh karenanya, orang bijak selalu berkata bahwa “bekerja itu adalah ibadah’’. Lalu, orang yang tidak bekerja apakah tidak pernah beribadah?

Jawabnya belum tentu, tergantung pada orang bersangkutan. Dan, Anda selaku pembaca yang budiman lebih pantas menjawab pertanyaan ini. Terlepas dari hal itu semua, orang yang bekerja sudah pasti menghadapi dan melakukan pekerjaan. Hanya, pekerjaan itu jenisnya banyak. Ada pekerjaan kasar dan ada pula pekerjaan halus (sebutan di masyarakat).

Pekerjaan yang disebut terakhir (halus) biasanya tidak mengeluarkan keringat, tangan selalu bersih, dan otak lebih banyak bekerja ketimbang otot. Pekerjaan yang memiliki kandungan ciri-ciri ini biasanya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sebelum menjadi PNS secara penuh, didahului dengan status CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil).

Oleh karena itu, dalam setiap penerimaan pegawai, tidak pernah langsung dicari PNS yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan orang. Yang dicari melalui tes seleksi adalah calon-calon PNS atau CPNS. Untuk bisa diterima menjadi CPNS, orang-orang (pelamar) menempuh berbagai cara mulai dari belajar menyiapkan diri secara matang, mengadakan pendekatan kepada oknum-oknum tertentu yang dipandang bisa membantu, mengikuti tes latihan (try-out) CPNS, hingga “nguping” soal pasaran kerja termutakhir dengan besaran tarif tertentu.

Baca juga:  Pertegas Kedudukan Ekonomi Rakyat

“PNS Oriented”

Disadari atau tidak setiap ada formasi penerimaan CPNS rumor tentang menggunakan uang pelicin selalu muncul. Namanya juga rumor (kabar burung) tentu belum bisa diyakini kebenarannya. Timbul pertanyaan haruskah orang itu bekerja menjadi PNS? Jawaban atas pertanyaan ini pun akan bersifat relatif dan amat subjektif tergantung pada orang bersangkutan.

Fakta empiris menunjukkan bahwa menurut sinyalemen yang pernah dikemukakan oleh mantan Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. bahwa “Lulusan perguruan tinggi banyak yang menganggur disebabkan oleh PNS Oriented’’. Dari sinyalemen ini dapat disimpulkan bahwa pekerjaan PNS sekarang ini benar-benar laris manis, banyak orang yang tergiur, tak sedikit yang mengincarnya, dan banyak orang yang menginginkannya.

Ingin bukti? Mari kita simak dua berita dari koran yang sedang Anda baca  sekarang terkait dengan penerimaan CPNS tahun 2018 ini. “Pelamar CPNS yang mendaftar di Kabupaten Tabanan tercatat sebanyak 4.454 orang dari 319 formasi yang disediakan …” (BP, 17/10).

Itu berarti, ribuan dari mereka bakal gugur dan hanya 7,2% yang akan diterima sebagai CPNS. Satu lagi dicomot dari judul berita yang agak bombastis “Ribuan Pelamar CPNS Dipastikan Tereliminasi; Pendaftar online capai 5.402 orang” (BP, 17/10). Berita yang datang dari “den bukit” Singaraja ini sudah dapat dipastikan bahwa yang akan diterima menjadi CPNS di Kabupaten Buleleng 6,2% karena kuota yang diterima 332 orang. Sungguh luar biasa persaingannya.

Baca juga:  Pelestarian Sistem Pangan Lokal

Lebih Bergengsi

Seorang pakar komunikasi, Nurudin (2001), berpendapat bahwa yang melatarbelakangi seseorang ingin menjadi PNS adalah (1) menjadi PNS dianggap lebih bergengsi di masyarakat dan bisa meningkatkan status sosialnya, dan (2) menjadi PNS juga mendapat jaminan rasa aman dan jaminan kelangsungan hidupnya. Lihat saja, mereka memperoleh berbagai fasilitas tertentu sehubungan dengan status dirinya.

Nurudin mencontohkan, jika mereka melanggar aturan ada kemungkinan ditutup-tutupi dengan alasan agar kredibilitas birokrasi tempat mereka bekerja tetap terjaga. Bukti tentang contoh kasus ini banyak dapat kita jumpai. Ini pula yang terkadang menyebabkan tindak korupsi, manipulasi, dan kolusi sulit diberantas.

Oleh karena itu, kata Nurudin, jangan heran jika banyak dari anggota masyarakat cenderung memilih menganggur dahulu sambil menunggu menjadi PNS daripada bekerja di luar sektor pemerintahan yang dianggap kurang aman, kurang bergengsi, dan banyak mengandung risiko.

Kembali ke Nurudin, ia kemudian menyoroti segi-segi negatif PNS mengacu pada temuan hasil penelitian dan pengajuan angket yang dilakukan para ahli di beberapa kota besar. Menurut Suharso dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang mengadakan penelitian di sejumlah kantor di DKI Jakarta dan Bogor, ditemukan bahwa dari 350 orang PNS terbukti 78% bekerja dengan santai.

Baca juga:  Diduga, Ada Campur Tangan Oknum PNS di Pemalsuan SK Mutasi Badung

Pengertian santai yang dimaksudkan Suharso, seperti; hanya mengobrol, main catur, baca koran, mengisi teka-teki silang, dsb. Untuk kebanyakan orang, menjadi PNS itu enak barangkali disebabkan oleh faktor cenik lantang (walau gaji sedikit namun sangat menjamin bisa hidup terus hingga hayat masih dikandung badan).

Beberapa kemudahan yang jelas-jelas bisa didapat oleh seorang PNS seperti; kenaikan gaji berkala setiap dua tahun sekali. Selain itu, ada tambahan penghasilan yang diterimanya setahun sekali, berupa gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR). Bagi PNS yang mendapat tugas tambahan, lain pula ceritanya.

Tugas tambahan itu seperti menduduki jabatan sebagai kepala dinas, kepala bidang, kepala biro, rektor, dekan, kepala sekolah, dan lain-lainnya. Di samping mereka itu mendapat tunjangan jabatan struktural, juga tersedia fasilitas yang aduhai seperti mobil dinas, dan kendaraan roda dua. Kalau sudah begini siapa yang tak ngiler menjadi PNS?

Kalau sudah demikian, beranikah kita berkesimpulan bahwa PNS itu merupakan satu-satunya jalur menuju hidup yang aman, nyaman, damai, bahagia, dan sejahtera? Terlepas dari predikat bahagia-sejahtera, dan melihat dari gaji, tunjangan serta fasilitas yang diterimanya, penulis berani menarik kesimpulan “sampai kapan pun PNS itu tetap laris manis sebagai sebuah pilihan bagi para pencari kerja’’.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *