Belakangan ini, wacana kepariwisataan bergulir di Bali. Ada yang menyorot pariwisata murah dan toko Cina yang marak di Bali. Ini mungkin ekses dari pengelolaan pariwisata yang kurang didukung regulasi yang memadai.
Bali saya juga lihat masih mengelola pariwisata berbasis kabupaten. Dampaknya, tak ada kebijakan yang utuh menjaga Bali. Bahkan belakangan, keluhan pelaku pariwisata yang menuntut pengelolaan pendapatan dari sektor ini diarahkan untuk menata fasilitas pariwisata juga terdengar. Ini tampaknya penting juga diperhatikan, agar tak ada kesan fasilitas seadanya namun target dari sektor ini terus dirancang naik.
Bahkan dalam kasus investasi, kini banyak ruang publik seperti pantai seakan menjadi milik pemodal. Apakah ruang publik berupa pantai ini disewakan penguasa atau hanya diklaim begitu saja. Sebagai warga Bali, saya tentu tetap ingin investasi tak membuat warga Bali terjebak pada penguasaan ruang yang tak terkontrol. Jika memungkinkan, warga pesisir harus tetap memiliki akses untuk melintas dan menggunakan ruang-ruang publik untuk kegiatan ritual dan rekreasi di pesisir pantai.
Saya berharap hak-hak nelayan pesisir tetap diakomodasi. Ruang untuk nelayan harus dipastikan oleh pemerintah Provinsi Bali sebagai bentuk kepedulian terhadap warga pesisir.
Investasi jangan sampai menggusur nelayan dari tempatnya mencari penghidupan selama ini. Mudah mudahan ke depan, pariwisata Bali memang berkembang dengan konsep Tri Hita Karana-nya sehingga kita nyaman di tengah banyaknya aliran wisatawan ke Bali.
I Wayan Arsana
Gianyar, Bali