Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Ribut Lupiyanto

Oktober adalah bulannya pemuda ditandai peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP). HSP telah lama diperingati pada setiap 28 Oktober. HSP ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Hari itu adalah awal kebangkitan pemuda-pemudi untuk memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tema HSP ke-90 tahun ini adalah “Bangun Pemuda Satukan Indonesia”. Pemuda merupakan kader calon pemimpin negeri di mana pun berada. Pendidikan pemuda sangat penting sebagai upaya menjamin kualitas  kepemimpinan sejak dini. Hari-hari ini, pemerintah melakukan perekrutan massal CPNS. CPNS merupakan salah satu komponen calon pemimpin di dunia birokrasi.

Kepemimpinan esensinya adalah amanah. Faktanya banyak dimaknai sebagai kebanggaan sosial dan karier ekonomi. Tidak sedikit oknum menghalalkan segala upaya demi menggapai, menaikkan, dan memanfaatkan posisi jabatan kepemimpinan. Percaloan santer terdengar dalam setiap seleksi CPNS/TNI/Polri. Calo seperti hantu yang tidak mudah terlihat tetapi ada. Laku tak terpuji ini merupakan bibit-bibit korupsi.

Calo Kepemimpinan

Tidak ada data pasti sejak kapan praktik percaloan mulai tumbuh di negeri ini. Calo muncul dari jalanan hingga gedongan. Calo jalanan melibatkan rakyat kecil, misalnya calo tiket angkutan, tiket pertunjukan, dan lainnya. Calo gedongan melibatkan kalangan berdasi, misalnya calo anggaran, calo kasus, calo jabatan, dan lainnya. Calo jabatan lebih profesional dan terbungkus rapi. Kehadirannya ibarat buang angin, berbau tetapi susah mencari sumbernya. Percaloan tumbuh menjadi layanan jasa yang bervariasi di setiap lini jabatan publik.

Baca juga:  Refleksi Sumpah Pemuda, Kemajuan Teknologi dan Informasi Jangan Timbulkan Perpecahan

Pertama di dunia PNS dan TNI/Polri. Praktik percaloan muncul sejak penerimaan, penempatan, mutasi, hingga kenaikan pangkat. Calo paling banyak hadir dalam musim penerimaan CPNS seperti sekarang ini. Penempatan wilayah kerja juga menjadi peluang jasa percaloan.

Muncul dikotomi daerah basah dan kering, Jawa-luar Jawa, kota-desa, dan lainnya. Hal ini juga berlaku dalam aspek mutasi, selain dikotomi wilayah juga muncul istilah dinas/kementerian basah. Basah, Jawa, dan kota konotasinya tidak lain adalah peluang kapling guna mengeruk pundi-pundi ekonomi.

Kedua adalah kelembagaan negara. Komisioner kelembagaan negara hingga daerah umumnya dipilih oleh DPR atau DPRD. Dunia parlemen beberapa tahun silam pernah diguncang isu miring tentang lobi toilet. Pemilihan calon Hakim Agung tercium bau praktik penyuapan. Sungguh mengerikan mengingat Hakim Agung dinisbatkan suci dari tindakan tidak terpuji. Isu ini juga sering muncul setiap musim seleksi kelembagaan negara. Ketiga adalah legislator.

Percaloan dalam musim pemilu seperti sekarang tidak hadir dalam layanan jasa melainkan praktik politik uang. Politik uang lebih masif dan melibatkan banyak pihak. Pelaku tidak sedikit dan penerima jauh lebih banyak. Tanpa disadari siapa saja yang menerima politik uang caleg sama saja dengan calo yang memuluskan pencalonannya.

Baca juga:  Siapkah Bali Menyongsong Era Baru Tanpa Pariwisata?

Jasa calo pencalonan kepemimpinan sudah sistemik. Sedikit pelaku yang tertangkap juga kebanyakan sebatas calo lapangan dan jarang menyentuh aktor intelektualnya. Konsekuensi tantangan ke depan adalah dibutuhkannya pemberantasan calo secara sistematis.

Hal ini akan ikut memberi andil bagi upaya pemberantasan korupsi. Pertama adalah perbaikan sistem perekrutan. Perekrutan penting melibatkan pihak independen, seperti kalangan akademik, tokoh masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat.

Independensi panitia pencalonan mesti dijamin. Independensi memang sifatntya relatif, tetapi dengan pelibatan banyak pihak paling tidak dapat diminimalisasi penyimpangannya sedikit demi sedikit.

Kedua adalah pengurangan kewenangan DPR dan DPRD dalam seleksi komisioner kelembagaan negara. Seleksi anggota KPU hingga KPU Kabupaten/Kota dapat dijadikan contoh yang pemilihannya dilakukan oleh Tim Seleksi independen. DPR dan DPRD sebagai lembaga politik juga rentan terhadap politisasi kelembagaan negara.

Ketiga adalah perubahan pola pikir masyarakat terhadap TNI/Polri/PNS dan jabatan lainnya. Penilaian publik bahwa jabatan tersebut bergengsi secara sosial ekonomi penting diluruskan.

Baca juga:  Antisipasi ‘’New Normal’’ dan ‘’The Second Wave’’ COVID-19

Sektor kewirausahaan mesti digenjot guna memberikan alternatif lebih menggiurkan bagi lulusan sekolah atau perguruan tinggi. Masyarakat juga mesti disadarkan bahwa jabatan kepemimpinan adalah amanah. Amanah itu memang mulia tetapi bukan dalam konteks sosial ekonomi. Jabatan kepemimpinan sama nilainya dengan profesi lainnya tergantung pelaksanaannya.

Keempat adalah penguatan spiritualisme kepemimpinan. Permasalahan apa pun ujung pangkalnya adalah moralitas. Kerangka teologis mengajarkan bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Landasan spiritual yang diinternalisasi secara utuh akan menjadi benteng dan penuntut menuju kepemimpinan amanah dan bersih.

Pemimpin atau pejabat publik adalah pelayan rakyat. Posisi rakyat jelas lebih tinggi dari mereka. Sangat berbahaya jika jabatan sebatas dimaknai profesi ekonomi dan prestise sosial. Masalah calo hanya segelintir dari permasalahan kompleks terkait kepemimpinan. Selain percaloan masih ada masalah kualifikasi, kapabilitas, integritas, dan lainnya. Dampaknya saat menjabat tidak sedikit oknum tersandung kasus korupsi, etika, amoral, kriminalitas, arogansi, dan lainnya.

Penulis, Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA); Pegiat FKMJ (Forum Kolumnis Muda Jogja)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *