DENPASAR, BALIPOST.com – Perkembangan industri pariwisata Bali tak sepenuhnya memberi keuntungan pada manusia Bali. Lemahnya daya saing, kerap menjadikan manusia Bali sebagai penonton. Memperbanyak pendidikan vokasi adalah jalan keluarnya. Demikian pula pengajar yang dibutuhkan harus guru produktif. Bukan guru yang memahami praktik. Bukan guru yang hanya menguasai teori-teori. Demikian terungkap dalam Diskusi Bali Post Editorial Club, Jumat (25/10). Diskusi bertemakan “Daya Saing Manusia Bali dan Pendidikan Vokasional di Era Gubenur Baru.”
Pendidikan vokasional yang berbasis pada pemberian keterampilan sudah menjadi perhatian Gubernur Bali Wayan Koster. Dalam visi dan misi yang mengusung “Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” disebutkan akan diberikan perhatian yang lebih besar pada keberadaan SMK.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali TIA Kusuma Wardhani menegaskan, kebijakan Gubernur akan memberikan 60 persen perhatian kepada SMK dan 40 persen untuk SMA. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah menyadari membekali keterampilan kepada manusia Bali akan meningkatkan daya saing dalam dunia kerja.
Kusuma Wardhani mengakui bahwa minat siswa di Bali menempuh pendidikan vokasional di SMK masih rendah dibandingkan minat ke SMA. Selain itu, ada fakta menarik, ternyata minat bersekolah di SMK banyak diminati siswa perempuan pada jurusan-jurusan yang biasanya diminati laki-laki.
Atas kondisi itu, Ketua LLDikti Prof. I Nengah Dasi Astawa mengatakan, peran orangtua masih sangat dominan dalam penentuan tempat anak bersekolah. “Artinya yang bersekolah itu bukan anaknya melainkan orangtua berdasarkan pertimbangan gengsi,” tegas Dasi.
Terkait soal SMK di Bali, Dasi mengingatkan bahwa saat ini guru-gurunya masih banyak yang bukan guru produktif. Masih banyak guru yang berasal dari lulusan Ilmu Keguruan yang menguasai teori-teori. Padahal di SMK dibutuhkan guru yang memahami praktik. “SMK itu idealnya 70 persen praktik, 30 persen teori,” tegas Dasi.
Di sinilah peran pemerintah provinsi menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas guru produktif agar dapat menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha atau dunia industri. Peran tersebut dapat berupa pemberian kesempatan kepada guru mengikuti pelatihan sehingga memiliki standar kompetensi praktik yang memadai.
Selain itu, lanjut Dasi, pendidikan vokasional membutuhkan biaya yang sangat tinggi, sehingga Pemprov Bali diminta memberikan prioritas anggaran yang memadai. Biaya yang mahal memang menjadi salah satu kendala yang membuat kualitas maupun kuantitas pendidikan vokasional masih rendah. “Di Jerman, hampir 90 persen lembaga pendidikannya adalah pendidikan vokasional, sementara Cina 50 persen vokasional, 50 persen akademik,” kata Dasi.
Rektor Undiknas Prof. Gede Sri Darma mengakui ada kecenderungan pendidikan vokasional diabaikan. Padahal dengan ketentuan di bidang pendidikan tinggi saat ini, sudah dimungkinkan mereka yang memiliki keterampilan pada bidang pekerjaan tertentu bisa mendapatkan gelar S-1 hingga S-3 Terapan.
Artinya gelar sarjana, magister hingga doktor saat ini tidak hanya menjadi hak lulusan universitas berbasis akademik. Hanya dalam hal pendidikan vokasional yang cenderung masih minim perhatian juga diakibatkan masih belum kuatnya komitmen pemerintah mendorong dalam soal perizinan lembaga pendidikan tinggi.
Sri Darma menyayangkan izin pendidikan tinggi terlalu mudah dikeluarkan. Akibatnya jumlah perguruan tinggi sangat banyak lalu bersaing mendapatkan mahasiswa. Dampaknya adalah menurunkan kualitas pendidikan tinggi karena mengejar kuantitas mahasiswa agar bisa bertahan hidup. (Nyoman Winata/balipost)