Oleh Sri Martini
Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia harus menghadapi ujian yang cukup berat akibat bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah negara kita. Sepanjang tahun 2017 dan 2018 ini, sejumlah gunung api di Indonesia mengalami erupsi.
Gempa bumi terjadi beruntun di beberapa daerah dan yang termasuk besar dampaknya adalah yang menimpa saudara-saudara kita di Lombok yang hingga saat ini masih berlangsung. Baru saja pula, warga di Palu, Donggala, dan sejumlah wilayah di Sulawesi tak hanya harus menderita akibat gempa dengan ukuran skala besar yang menghancurkan banyak rumah, gedung dan bangunan namun juga harus menghadapi bencana alam berupa tsunami dan likuifaksi tanah.
Sebagaimana didefinisikan pada undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yaitu Undang-undang nomor 24 tahun 2007, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Apa yang menyebabkannya?
Ditinjau dari segi geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang lokasinya berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia serta lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain hal tersebut, pada wilayah Indonesia bagian selatan dan timur terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di situs resminya yaitu pada artikel menu pengetahuan kebencanaan menyatakan bahwa kondisi geografis Indonesia tersebut sangat berpotensi rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Lebih lanjut pada artikel dimaksud disebutkan bahwa berdasarkan data, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari sepuluh kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.
Potensi dampak bencana alam sangat besar karena sulit untuk memperkirakan dengan tepat waktu terjadinya sehingga masyarakat cenderung kurang siap dalam menghadapinya. Mengingat jumlah kejadian bencana alam yang terus meningkat maka pemerintah harus selalu siap baik dalam penanggulangan bencana itu sendiri maupun pembiayaannya.
Hal tersebut ditegaskan pada Undang-undang nomor 24 tahun 2007, di mana pemerintah harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang mencakup perlindungan masyarakat dan pemulihan kondisi dari dampak bencana melalui pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN/APBD. Alokasi anggaran tersebut ditujukan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tahap prabencana, saat tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Hal tersebut menjadikan bencana alam sebagai salah satu sumber risiko fiskal bagi APBN, yaitu tidak cukupnya dana atau alokasi anggaran untuk melaksanakan penanggulangan bencana.
Kegiatan pada tahap pascabencana yaitu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga memerlukan pembiayaan yang paling besar dibandingkan pembiayaan pada tahap lainnya. Sebagian besar infrastruktur tersebut tidak memiliki perlindungan keuangan sehingga pembiayaannya memberikan tekanan yang besar terhadap APBN yaitu pada pengeluaran pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah harus mampu merencanakan dan mengalokasikan dana bagi penanggulangan bencana untuk membiayai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagai contoh, kerusakan dan kerugian yang timbul akibat bencana tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias pada akhir tahun 2004 mencapai lebih dari Rp 41,4 triliun sedangkan kerugian akibat gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006 sekitar Ep 26,1 triliun. Pemerintah mengeluarkan anggaran untuk membiayai kegiatan rekonstruksi di Aceh dan Nias lebih dari Rp 37 triliun serta sekitar Rp 1,6 triliun untuk kegiatan rekonstruksi akibat gempa bumi di Yogyakarta.
Mengingat potensi tekanan yang disebabkan oleh bencana alam terhadap APBN, pemerintah perlu mengembangkan berbagai macam alternatif pembiayaan risiko bencana sebagai langkah mitigasi risiko. Ada beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengkaji kemungkinan meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana, antara lain: probabilitas kejadian bencana, meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana dan perubahan iklim. Pada Nota Keuangan yang disampaikan pada saat pengajuan RAPBN Tahun Anggaran 2019, pemerintah mengemukakan bahwa strategi pembiayaan risiko bencana saat ini merupakan kombinasi dari ex-post financing dan ex-ante financing.
Opsi pembiayaan ex-post financing antara lain melalui alokasi anggaran maupun realokasi anggaran di beberapa kementerian/lembaga terkait dan dana cadangan penanggulangan bencana yang dialokasikan pada Kementerian Keuangan yang dapat digunakan pada saat kejadian tanggap darurat (dana on call) atau pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi (dana kontigensi).
Selain itu, terdapat alokasi dana dalam APBN pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang difokuskan untuk pembiayaan tahap prabencana, yaitu untuk pengurangan risiko bencana. Lebih lanjut apabila terjadi bencana, beberapa kementerian seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan kementerian/lembaga lainnya akan melakukan realokasi anggarannya dalam rangka pembiayaan bencana.
Pembiayaan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilakukan melalui pengalokasian anggaran pada kementerian/lembaga terkait pada tahun berikutnya, selain dapat juga menggunakan dana cadangan penanggulangan bencana.
Pada Nota Keuangan RAPBN Tahun Anggaran 2019 dijelaskan bahwa besaran alokasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN dihitung berdasarkan: 1) kebutuhan dana on-call yang berdasarkan data historis kejadian bencana dan kebutuhan pembiayaan pada saat tanggap darurat serta perkiraan akan kebutuhan pembiayaan pada masa yang akan datang; 2) pengalaman historis kebutuhan pemerintah dalam membantu daerah-daerah yang mengalami bencana tetapi dengan skala yang relatif kecil, seperti banjir, gempa bumi berkekuatan relatif kecil, atau tanah longsor.
Alokasi dana tersebut berkisar antara Rp 2 triliun sampai dengan Rp 5 triliun setiap tahunnya. Ada pun rata-rata penyerapannya pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir adalah sekitar 76,8 persen.
Opsi pembiayaan ex-ante financing dilaksanakan oleh pemerintah melalui implementasi risk transfer dengan cara pelaksanaan asuransi Barang Milik Negara (BMN) dan asuransi pertanian. Pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 247/PMK.247/2016 diatur bahwa pada prinsipnya dalam rangka pengamanan BMN, pengasuransian BMN dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan memerhatikan prinsip selektif, efisien, efektif, dan prioritas.
BMN berupa gedung dan bangunan serta jembatan dapat diasuransikan sepanjang lokasinya berada di daerah rawan bencana (lokasi rawan bencana sesuai indeks risiko yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang), mempunyai dampak yang besar terhadap pelayanan umum apabila rusak atau hilang, serta harus memenuhi kriteria menunjang kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah.
BMN lainnya yang dapat diasuransikan adalah alat angkutan darat/apung/udara bermotor sepanjang memenuhi kriteria di atas serta berdasarkan sifat penggunaannya mempunyai kemungkinan rusak atau hilang yang tinggi. BMN lainnya dapat pula diasuransikan dengan ketetapan Pengelola Barang.
Pemerintah mengharapkan implementasi pengasuransian BMN akan terlaksana secara efektif pada tahun 2019. Adapun untuk asuransi pertanian dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan pangan guna mitigasi risiko gagal panen pertanian akibat bencana alam. Pelaksanaannya berdasarkan Undang-undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Penulis, Kepala KPPN Amlapura, Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan