DENPASAR, BALIPOST.com – Wisata tirta turut menghadapi masalah serius terkait persaingan usaha. Seperti halnya hotel, banting harga juga terjadi pada usaha wisata tirta seperti rafting dan diving. Hal ini bahkan sudah diprediksi sejak tahun 1996 silam. Jika dibiarkan, wisata tirta dikhawatirkan terus terpuruk kedepannya.
“Saya berharap Musda Gahawisri mengeluarkan sebuah rekomendasi penting untuk pemerintah, apa yang perlu dilakukan kedepan karena asosiasi yang paling tahu persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-harinya,” ujar Wakil Gubernur Bali, Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati usai membuka Musda VI DPD Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri) Provinsi Bali di Sanur, Denpasar, Selasa (30/10).
Pria yang akrab disapa Cok Ace ini menuturkan, dirinyalah yang dulu pertama kali membawa rafting ke Bali pada 1989. Kala itu, belum ada peraturan yang mengatur apakah rafting masuk dalam rekreasi atau olahraga. Bupati Gianyar yang dimintai arahan terkait pajak juga masih kebingungan untuk mengeluarkan ijin.
“Tantangan di lapangan luar biasa. Masyarakat yang biasa bawa sapinya ke sungai, terganggu sehingga sering dipasang bambu runcing. Jadi, boat-boat hancur, pecah semua di lapangan. Ketika lewat, ada ranjau di sungai, bocor. Padahal pada waktu itu untuk satu orang rafting, tiketnya 67 US dolar,” ungkapnya.
Cok Ace menambahkan, harga tiket hampir Rp 1 juta itu untuk kegiatan rafting dari Payangan sampai Kedewatan sejauh 7 sampai 8 km. Namun, harga itu kemudian turun menjadi 55 US dolar seiring dengan munculnya usaha rafting lain. SOP mengenai carrying capacity Sungai Ayung untuk rafting sebetulnya sudah dibuat dengan asumsi jumlah boat yang berangkat setiap sekian menit.
“Tapi dilanggar oleh pemerintah, dikeluarkan terus ijin. Maka turun harga sampai drop ke 35 dolar dari 67 dolar pertama. Pada saat 35 dolar itulah tahun 1996 saya mulai goyang. Ini bahaya lama-lama kalau pemerintah tidak melindungi kami. Aset saya hanya sungai, yang kita jual lingkungan. Kalau ini rusak, maka makin lama makin tidak punya nilai,” kenang mantan bupati Gianyar ini.
Cok Ace akhirnya memutuskan untuk menjual usaha raftingnya di tahun 1996. Dari pengamatannya selama ini, usaha rafting dan termasuk juga diving kini berkembang semakin banyak. Berbanding terbalik dengan harga yang terus turun, sehingga berimplikasi pada pengamanan dan pelayanan yang diberikan untuk wisatawan. Disamping implikasi berupa kerusakan lingkungan.
“Banyak kita dapat keluhan tamu yang diving hanyut dibawa arus, naik bus pariwisata, busnya tidak ada remnya, blong. Itu semua gara-gara bayarnya murah, tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimum. Ini persoalan-persoalan yang harus kita sikapi sampai batas ambang berapa carryng capacity yang kita masih anggap wajar,” paparnya.
Menurut Cok Ace, pengusaha memang diharapkan memenuhi kewajiban membayar pajak sesuai aturan. Tapi mereka juga membutuhkan perlindungan dan kepastian hukum, termasuk soal carryng capacity. “Sekarang kan tidak ada, mohon maaf saya harus mengatakan, memang ini perlu kita menginstrospeksi diri. Saya tahun 1996 sudah tahu ini akan bahaya kedepan, pasti banting-bantingan harga,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPD Gahawisri Bali, I.B Agung Partha Adnyana mengatakan pengusaha wisata tirta berkomitmen untuk menjaga lingkungan demi keberlanjutan usaha mereka. Sebab, lingkungan yang rusak sama dengan menghilangkan usaha wisata tirta itu sendiri.
“Jadi harus benar-benar komitmen dengan lingkungannya, alamnya, karena itu jualannya. Kalau jualannya rusak, apalagi yang dijual. Kan tidak ada lagi. Artinya, image Bali juga tidak bagus. Nanti wisatawan yang pulang dari Bali tidak happy mendapatkan alam yang sudah rusak,” ujarnya.
Partha menambahkan, wisata tirta di Bali saat ini berkembang cukup pesat. Terutama untuk destinasi Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan. Terkait hal itu, pihaknya fokus untuk meningkatkan pelayanan, upgrade service, dan keamanan. Disisi lain, juga akan dibuat standarisasi harga dan mencatat perusahaan legal yang memenuhi standar ke dalam white list.
“Kita akan rekomendasikan kepada pihak luar, termasuk pemerintah luar seperti ke Konjen Tiongkok. Beliau membutuhkan white list untuk perusahaan-perusahaan yang bisa direkomendasikan kepada pihak luar. Itu untuk selanjutnya, karena kita menghadapi ancaman persaingan dari luar,” imbuh Ketua Bali Tourism Board ini. Hanya saja, lanjut Partha, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam pembuatan standar itu oleh internal pengusaha. (rindra/balipost)