Dinamika kehidupan bergerak cepat. Teknologi turut membuat hidup lebih praktis dan lebih dinamis. Teknologi juga membuat migrasi penduduk dan alkulturasi budaya makin cepat. Pergerakan yang dinamis dalam tata kelola kehidupan ini tentu tak bisa diatur dengan ketentuan hukum yang kaku. Hukum yang dinamis dan memiliki kekuatan mengayomi dan tegas dalam implementasinya tentu harus dirancang.
Dalam konteks ini, pengaturan tentang kehidupan di tingkat desa pakraman yang cenderung homogin juga harus bergerak dinamis. Kini, banyak persoalan hidup di desa pakraman yang tak terakomodasi awig-awig. Untuk itulah para tokoh adat dan lembaga umat di Bali mesti memikirkan ini.
Kesan bahwa desa pakraman masih protektif terhadap sejumlah permasalahan kependudukan tentu juga harus dibicarakan. Bagaimana memosisikan krama pendatang atau tamiu dalam kehidupan di desa pakraman juga harus jelas. Apakah krama tamiu bisa dilibatkan dalam menjaga ketertiban desa pakraman termasuk dalam menanggung beban upacara juga harus dirumuskan.
Awig-awig sebagai aturan hukum di tingkat desa pakraman tentu harus jelas dan terukur implementasinya. Sanksi dalam aturan ini juga harus jelas dan dapat dieksekusi. Tentuanya eksekusi atas pelanggaran adat juga tak boleh melanggar norma hukum nasional.
Inilah hal-hal yang mesti diselaraskan agar pihak-pihak yang melakukan tindakan hukum atas nama awig-awig tidak berpotensi dimasalahkan dalam hukum pidana. Para pakar hukum adat di Bali juga perlu diajak bicara dan didengar pandangannya terkait dengan awig-awig ke depan. Eksistensi desa pakraman juga harus tetap terjaga di tengah pesatnya pergerakan ekonomi dan teknologi informasi.
Perdebatan dalam menjaga Bali dalam konteks kekinian tentu juga harus disikapi. Menjaga desa pakraman agar tetap mengajegkan tradisi yang saklek tentu juga tak mungkin diterapkan saat ini. Masalahnya tetap menjadi orang tradisional dengan berbagai ketentuan adat yang mengikat pada era modernisasi merupakan hal yang nyaris mustahil.
Penduduk di tingkat desa pakraman kini juga mulai bergerak ke arah yang lebih dinamis karena tuntutan ekonomi. Realitas di lapangan khususnya di tingkat desa pakraman, kini sudah banyak tradisi yang dibuat lebih sederhana. Tujuannya untuk menyediakan waktu yang lebih banyak untuk bisa berbaur dengan tuntutan kehidupan.
Akan menjadi tradisional juga jika hal-hal yang memungkinkan dibuat lebih dinamis diakomodasi dalam awig-awig. Misalnya dalam konteks hak dan kewajiban adat, perkawinan, transportasi, bisnis, serta problem sosial lainnya.
Dalam konteks inilah, aparat desa dari pemerintah daerah, pemerintah kabupaten/kota, MUDP, bendesa adat, sampai klian adat nantinya diharapkan bisa merumuskan hal-hal yang mampu meningkatkan kesejahteraan usaha krama desa ke dalam rancangan awig-awig baru.
Dengan pendekatan ini, ke depan awig-awig hadir untuk memberikan kesejahteraan bagi krama setempat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Awig-awig jangan hanya mengatur ketentuan hukum bagi pengelolaan adat dan ruang.
Ke depan, tentu awig-awig diharapkan mengadopsi ketentuan berusaha dan bisnis di desa pakraman. Ketentuan lainnya juga bisa terkait dengan kewajiban investor atau setidaknya penduduk pendatang jika menjadi warga baru di lingkungan desa pakraman. Terlebih nantinya ada pendatang yang melakukan kegiatan usaha di wewidangan desa pakraman. Ini tentu perlu diatur agar jebakan pungli tak membuat prajuru desa pakraman terjerat hukum.