Konsumsi kunyit
Kunyit memiliki banyak manfaat bagi tubuh jika dikonsumsi rutin. (BP/ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kebutuhan masyarakat dunia akan pengobatan tradisional atau dikenal dengan Complementary and Alternative Medicine (CAM) diperkirakan meningkat. Hal ini dikarenakan makin sadarnya masyarakat untuk mengonsumsi obat-obatan dari alam, bukan bahan kimia.

Prediksi WHO, kebutuhan obat herbal dunia mencapai sekitar 50 miliar USD di tahun 2050. Ini merupakan peluang bagi Indonesia, khususnya Bali sebagai destinasi pariwisata internasional untuk ikut mendulang dolar dari sektor kesehatan lewat CAM dan obat herbal.

“Menurut WHO itu 50 miliar USD di tahun 2050 kebutuhan dunia akan obat herbal. Kalau kita berpikir income dari dalam negeri, tidak sanggup. Kita ingin income itu datang dari luar,” ujar Dosen Farmasi Unud, I Made Agus Gelgel Wirasuta di Denpasar, Jumat (2/11).

Baca juga:  Masih Ada Ortu Tolak Anaknya Divaksin JE

Menurut Gelgel, ada banyak perusahaan swasta menekuni herbal yang dimiliki warga asing dibuka di Bali. Perusahaan tersebut memiliki pangsa pasar yang luar biasa, bahkan menjadi top market dunia.

Salah satunya adalah perusahaan kosmetik di Karangasem. “Alumni saya bekerja di situ, pangsa pasar di Kanada 3 besar. Dia di Bali lho, kenapa kita nggak pegang,” imbuh ahli toksikologi forensik yang banyak menulis riset tentang standarisasi obat herbal ini.

Kalau Bali memenuhi pasar obat herbal atau obat tradisional, lanjut Gelgel, dengan sendirinya tidak akan kekurangan bahan baku. Masyarakat pasti akan menanam tanaman obat saat memiliki harga bagus.

Baca juga:  Hari Ini, KAPWK dan IBTK Pura Besakih "Kasineb"

Apalagi, Kementerian Kesehatan siap mensupport industri pengolahan pascapanen tanaman obat. Selama ini, potensi tersebut masih belum digarap dengan baik. “Padahal pasarnya besar, kebutuhannya besar, potensinya besar secara ekonomi, Bali tidak akan terfokus pada pariwisata saja. Ada industri yang kita bangun, yang tidak menganggu pariwisata,” jelasnya.

Bali kini mengembangkan pengobatan tradisional sebagai salah satu program prioritas di bidang kesehatan. Terlebih, Pulau Dewata memiliki banyak sastra berupa lontar dan dokumen lain terkait usada.

Kebijakan yang akan dipayungi dengan regulasi ini utamanya untuk melindungi dan menggali manfaat kearifan lokal Bali dalam usaha mewujudkan kesehatan masyarakat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengatakan, obat herbal relatif aman dan tanpa efek samping. Setelah ada diagnosis dari dokter, pasien dapat memilih pengobatan dengan obat herbal atau kimia. “Dokter kan pasti tahu penggabungannya bagaimana,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Baru Masih 3 Digit, Tapi Jumlahnya Lebih Sedikit dari Sehari Sebelumnya

Menurut Suarjaya, sudah ada konsep untuk pengembangan pengobatan tradisional mulai dari puskesmas. Di puskesmas, pihaknya bahkan sudah melatih cukup banyak tenaga kesehatan tradisional.

Mereka diambil dari dokter, perawat, bidan, yang dilatih khusus tentang akupresur, ramuan dan akupuntur. Saat inipun sudah ada banyak dokter yang menekuni akupuntur.

“Sehingga itu menjadi pilihan. Kalau misalnya pasien mau diobati dengan cara pengobatan akupuntur ya..diberikan akupuntur. Kalau obat kimia, ya..kimia. Ini kan pilihan,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *