DENPASAR, BALIPOST.com – Rujukan online BPJS Kesehatan banyak menuai keluhan, baik disampaikan masyarakat dan rumah sakit termasuk SDM kesehatan. Soal keluhan ini, BPJS Kesehatan terbuka dan menerima masukan dari manapun.
Menurut Deputi Direksi Wilayah Bali, NTT dan NTB BPJS Kesehatan Army A. Lubis, aturan rujukan online tidak kaku. Namun fasilitas kesehatan (faskes) harus tepat dalam mengisi di aplikasi tersebut.
Ia mengatakan, rujukan online dibuat sudah berpedoman pada aturan-aturan yang ada sebelumnya. Ia melihat banyak yang antre di rumah sakit, banyak peserta yang kehilangan surat rujukan atau rusak. Faskes juga tidak tahu permasalahan pasien, kemungkinan disebabkan rekam medis yang susah dicari atau yang lain.
Sejumlah masalah tersebut akhirnya membuat BPJS Kesehatan mendigitalisasi layanannya menjadi rujukan online, dengan prinsip rujukan berjenjang. “Rujukan berjenjang tidak mutlak harga mati,” jelasnya ketika ditemui Bali Post, Selasa (6/11).
Mengingat faskes I yaitu puskesmas hanya melayani 144 item layanan kesehatan, maka di luar 144 layanan tersebut perlu dirujuk ke faskes di atasnya. Rujukan berjenjang dalam rujukan online dimulai dari RS tipe D, C, B baru kemudian ke A.
Rujukan ke faskes yang tingkatannya lebih tinggi diperlukan jika dalam tingkatan faskes tersebut tidak ada layanan yang dibutuhkan pasien. “Kalau layanan yang dibutukan pasien ada di RS tipe B, maka pasien akan diinformasikan terkait dokter siapa yang memeriksa, jam praktek, sehingga pasien datang ke RS tipe B dengan kepastian yang diberikan. Itu kalau tipe C dan D tidak ada. Kalau tipe C dan D ada, cukup di tipe D saja,” jelasnya.
Pasien bisa dari faskes I dirujuk ke RS tipe B dan pasien tidak perlu ke RS tipe D dan C lagi. Maka dari itu, informasi tentang rumah sakit yang akan dituju pasien terekam di sistem yang ada di FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama). Jika rumah sakit yang dituju berbohong atau salah mengisi data tentang dokter, jam praktek dokter, ketersediaan alat, maka di FKTP juga akan salah menentukan rujukan.
“Misalnya di faskes tipe D praktek dokter spesialis X dari pukul 15.00 – 17.00, tapi dokter X tidak ada. Namun di aplikasi tertera dokter spesialis X ada. Ketika ada pasien yang membutuhkan kompetensi dokter X tadi dan RS tipe D ini yang paling dekat, maka pasien akan diarahkan oleh faskes I ke RS tipe D ini. Karena RS tipe D tadi salah mengisi atau bohong, ingin pasien yang banyak, maka sampai di RS tipe D, dokternya tidak ada. Ini yang membuat masyarakat merasa dibolak-balik, merasa susah,” bebernya.
Begitu juga dengan alat kesehatan yang tersedia akan terlihat di aplikasi tersebut. Sehingga perlu ketepatan pengisian oleh faskes baik SDM, alat dan lainnya.
Kata Army, rujukan online adalah untuk menjawab antrean yang panjang dan ketidakpastian layanan. Sementara itu, konsep rujukan wilayah yang diinginkan oleh masyarakat dan pemerintah daerah tidak bisa dilakukan.
Karena masyarakat akan kesulitan nantinya jika akan dirujuk ke RS yang berada di luar Bali atau luar kabupaten/kota yang memiliki SDM dan alat yang dibutuhkan masyarakat. Ego sektoral diharapkan dihilangkan agar pasien atau masyarakat Bali bisa dilayani di seluruh wilayah Indonesia. “BPJS Kesehatan tidak memandang konsep wilayah. Selagi di wilayah Indonesia, dia berlaku kartu JKN,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)