JAKARTA, BALIPOST.com – Kapolda Bali Irjen Pol. Dr. Petrus Reinhard Golose, mewakili Kapolri Jenderal Polisi Prof. Muhammad Tito Karnavian, menghadiri acara Indo Defence 2018 Expo & Forum yang digelar di Hall C3 JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (8/11). Kehadiran Irjen Golose sekaligus sebagai pembicara dengan tema “Menjamin Stabilitas Regional melalui Kerjasama dalam Penanggulangan Terorisme.”
Pada kesempatan tersebut, Golose menyampaikan terorisme menjadi permasalah global bagi negara-negara di dunia. Pasalnya berbagai kerugian baik material maupun korban jiwa harus ditanggung atas aksi terorisme yang terjadi, sehingga kerjasama melawan terorisme sangat penting dilakukan.
Menurutnya, sejak tahun 2000 hingga 2017 terjadi 27 kali serangan bom besar di wilayah Indonesia. Sedangkan selama tahun 2018 telah terjadi 21 aksi teror. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini, aksi teror tersebut dilakukan jaringan teror Jamaah Anshorut Daulah (JAD) dan sebagian besar targetnya adalah aparat kepolisian dan gereja.
“Saat ini jaringan kelompok terstruktur yang ada di Indonesia terbagi atas dua afiliasi yaitu ISIS dan Al Qaeda,” tegasnya.
Dari dua afiliasi tersebut, ada beberapa kelompok seperti Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Anshorut Syariah (JAS), dan Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok-kelompok ini juga berhubungan dengan jaringan teror yang berada di Asia dan juga Irak dan Siriah.
Lebih lanjut, jenderal lulusan Akpol tahun 1988 ini mengungkapkan bahwa terjadi pergeseran modus operandi yang dilakukan oleh jaringan terorisme, antara lain propaganda yang sebelumnya secara konvensi melalui buku, majalah, poster, dan pamflet, serta mengeksploitasi dunia maya. Rekruitmen, sebelumnya mereka merekrut anggota dengan latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi kelas menengah ke bawah, menjadi yang berpendidikan tinggi dan berasal dari kelas ekonomi atas dengan melibatkan anak-anak serta istri sebagai pelaku bom bunuh diri.
Tidak hanya itu, pengadaan logistik hingga pendanaan juga terjadi perubahan. Terkait pengadaan logistik yang sebelumnya dilakukan secara konvensional berubah menjadi pendanaan melalui transaksi online.
“Melihat pergeseran modus operandi tersebut, perlu kerjasama seluruh stakeholder terkait dalam hal penanganan aksi terorisme. Yang mana, aktivitas terorisme selalu berputar dan terhubung satu sama lain mulai dari recruitment, training, logistic provision, paramilitary formation, planning, execution of attack, hiding, fundraising hingga propaganda,” ucap Irjen Golose.
Perkembangan aksi terorisme juga terjadi pada pergeseran metode, sasaran hingga penampilan para pelaku aksi teror. Kini mereka lebih mengedepankan metode aksi teror dimana para pelaku siap melakukan serangan dengan bom bunuh diri dan melakukan serangan sampai dibunuh oleh musuh, misalnya ditembak polisi.
“Mereka juga mulai menggunakan metode yang disebut unexpeted actors yaitu melibatkan anggota keluarga, perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi teror secara langsung seperti yang terjadi di Surabaya. Ini merupakan aksi pertama yang terjadi di dunia,” kata jenderal bintang dua di pundak ini.
Banyaknya jumlah warga negara Indonesia yang menjadi foreign terrorist fighters (FTF) dan bergabung dengan ISIS di Suriah, Irak dan Filipina Selatan, memunculkan ancaman antara lain frustrated traveler (FT) yaitu mereka yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah namun tidak tercapai karena dideportasi kembali ke Indonesia. Returnees adalah FTF yang kembali ke indonesidan dan bergabung dengan jaringannya.
Terkait penanggulangan ancaman terorisme, jenderal yang hobi olahraga tembak reaksi ini mengungkapkan, Polri memiliki strategi yang berdasarkan pada persatuan bangsa yaitu empat pilar strategi penanggulangan terorisme dan Asean strategi dalam kegiatan pertemuan tingkat menteri tentang kejahatan transnasional. Dari kedua perangkat kerangka kerja hukum internasioal tersebut, maka strategi nasional dalam penanggulangan terorisme terbagi menjadi dua strategi yaitu soft power yang terdiri dari kontra radikalisasi, kontra ideologi, dan deradikalisasi.
Sementara hard power dalam bentuk penegakan hukum dengan mengedepankan serangan preemtif yaitu penegakan hukum yang dilakukan untuk mencegah tindakan teror. Pada kesempatan tersebut, Kapolda berharap dengan dilaksanakannya kegiatan ini dapat mempererat kerjasama baik di lingkup nasional, regional dan internasional dengan merumuskan langkah antisipasi serta pencegahan tindak pidana terorisme melalui efektif cooperation antar negara.
Dalam hal berbagi informasi dan dalam peningkatan kapasitas dan pembaruan teknologi. Pasalnya ancaman terorisme dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun. (Kerta Negara/balipost)