DENPASAR, BALIPOST.com – Di balik gemerlap pariwisata Bali, ada sejumlah masalah yang tersimpan. Salah satunya adalah kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank (KUPVA BB) ilegal.
Ketua APVA Bali Ayu Dama mengatakan, setiap wilayah di Indonesia memiliki masalah yang berbeda. Seperti DKI Jakarta permasalahannya cenderung money laundering. Sementara permasalahan KUPVA di Bali adalah penipuan langsung terhadap turis.
Karena Bali adalah provinsi yang bergantung dari pariwisata, ia berharap agar money changer yang tidak bertanggung jawab dapat berkurang. “Penipuan itu bersifat hit and run. Meski ada permasalahan yang dialami tamu terkait penukaran valas dan sudah dibantu oleh jagabaya aparat setempat, namun tamu dikatakan enggan diproses hukum. Hanya saja dampaknya pada lama tinggal tamu yang berkurang. Kalau ketemu biasanya akan langsung diganti, tapi tamu ini tidak mau melakukan proses hukum. Ketika kena masalah dia bisa pulang langsung ke negaranya. Itu yang sangat merugikan Bali,” ungkapnya.
Dengan adanya masalah ini, ia berharap Gubernur Bali membuat Pergub untuk daerah Bali sambil menunggu UU tentang valuta asing. “Kami harap kepada Gubernur Bali yang baru melalui Wakil Gubernurnya yang notabene Ketua PHRI yang sudah mengetahui permasalahan pariwisata akibat money changer ilegal agar membuat Pergub untuk daerah Bali, terkait keberadaan money changer itu. Karena kami lihat dan kami sangat berterima kasih Wagub sudah menindaklanjuti toko Tiongkok, sedangkan kami juga ada permasalahannya untuk valas, karena dia transaksi di atas mobil,” bebernya.
Selain penipuan, kata Kepala Grup Surveilans KLU dan Moneter Bank Indonesia KPw Bali, Zulfan Nukman, industri KUPVA BB ini sangat rentan untuk dijadikan sebagai sarana tindak pidana pencucian uang, narkotika, dan korupsi. Sebagai buktinya, sudah banyak pemilik penyelenggara KUPVA BB di Jakarta dan Batam yang ditahan atau dimintai keterangan oleh penyidik dari Kepolisian atau BNN.
Berdasarkan hasil pengawasan BI, sebagian besar penyelenggara KUPVA BB masih memiliki skor penerapan program Antipencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) dengan predikat rendah. Hal ini antara lain disebabkan masih kurangnya pemahaman KUPVA BB terhadap ketentuan APU dan PPT, ketidakpedulian komisaris dan direksi terhadap penerapan prosedur Customer Due Diligience (CDD),Beneficial Owner (BO), dan tingkat kesadaran yang masih rendah dari penyelenggara KUPVA BB terhadap manajemen risiko penyelenggara KUPVA BB, khususnya risiko yang timbul dari pencucian uang dan pembiayaan terorisme.
Provinsi Bali sendiri merupakan salah satu sentra utama kegiatan penukaran valuta asing. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penyelenggara KUPVA BB yang mencapai 125 penyelenggara dengan jumlah kantor cabang sebanyak 511. Secara total terdapat 632 kantor penyelenggara KUPVA BB berizin yang melakukan kegiatan usaha penukaran uang di wilayah Provinsi Bali.
Berdasarkan data transaksi triwulan III tahun 2018 tercatat rata-rata volume transaksi jual dan beli bulanan dari seluruh kantor pusat penyelenggara KUPVA BB di Bali yaitu sebesar Rp 3,47 triliun atau 9,93 persen terhadap rata-rata volume transaksi nasional. Di nasional jumlahnya mencapai Rp 34,93 triliun per bulan. (Citta Maya/balipost)