Oleh GPB Suka Arjawa
Hari Pahlawan selalu menjadi objek renungan setiap tahun. Pada satu sisi, tentang pentingnya memaknai hari pahlawan tersebut demi memberikan inspirasi dan motivasi kepada generasi muda tentang semangat dan bela negara. Pada sisi lain, adalah menggali pemahaman baru terhadap makna kepahlawanan itu sendiri.
Secara tradisional, pahlawan adalah orang yang berjuang untuk membela kemerdekaan negara, seperti yang dimaknai kita di Indonesia. Seluruh pahlawan adalah orang yang membela kemerdekaan. Dan heroisitas dari perlawanan rakyat Surabaya 10 November 1945 itu, merupakan kompleksitas dari gambaran tentang kepahlawanan di Indonesia: pertempuran menghadapi musuh bangsa asing, dilakukan oleh rakyat, dikobarkan oleh elite, semangat perjuangan tidak takut mati demi mempertahankan kemerdekaan.
Akan tetapi, generasi milenial sekarang diprediksi telah mempunyai orientasi yang berbeda terhadap pahlawan dan kepahlawanan tersebut. Ada pengamatan jika generasi baru sekarang cenderung memandang pahlawan itu dapat dilihat secara langsung dan memberikan manfaat secara langsung kepada orang banyak.
Titik sentralnya masih kepada negara dan bangsa tetapi, tidak harus yang membela mati-matian negara dari penjajahan. Artinya, mereka harus memberikan manfaat dan berguna bagi nusa bangsa saat ini, dan dapat dilihat. Ia adalah inovator yang mampu memberikan manfaat bagi orang banyak.
Dari sini, penemu sistem ojek aplikasi atau mobil online dapat saja dikatakan sebagai pahlawan karena ia mampu memberikan bantuan dan kesempatan bagi orang banyak untuk bekerja. Pemain bulu tangkis yang mengharumkan nama bangsa, juga adalah seorang pahlawan.
Atlet ini, bukan saja mampu mengharumkan nama bangsa dan negara tetapi dapat membangkitkan semangat nasional dan mempersatukan bangsa secara nasional. Ia meningkatkan rasa percaya diri yang mungkin saja dapat membuat seseorang memberikan kesempatan untuk berkreasi lebih lanjut. Dalam konteks internasional, dengan demikian, penemu google, dan perangkat lunak lainnya adalah paahlawan juga bagi anak-anak generasi milenial.
Apakah gejala seperti ini wajar? Jika pun pandangan di atas benar, maka dapat dikatakan ini merupakan gejala yang wajar. Sebab, pada hakikatnya pahlawan, baik pada diri maupun predikatnya, bisa dikatakan sebagaii produk budaya, yang dalam hal ini dapat berupa budaya daerah maupun nasional.
Di dalam diri pahlawan itu terkandung nilai yang mampu menggerakkan orang dan masyarakat untuk berbuat lebih banyak. Seorang pahlawan ada tindakan yang dilakukan dan tindakan tersebut mempunyai pandangan positif di masyarakat.
Membela kebenaran dan negara mengandung unsur nilai kebaikan, hal yang dipercayai oleh rakyat kebanyakan sebagai sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik inilah hendak disebarkan, dicontoh agar masyarakat lain dapat berbuat seperti itu: membela negara secara mati-matian tanpa mengenal rasa takut.
Hanya, personifikasi pahlawan dan kepahlawanan pada masa lalu itu selalu diidentifikasi sebagai pembela negara yang dilakukan melalui pertempuran melawan musuh. Personifikasi ini boleh dikatakan memiliki kelemahan sehingga sosialisasi terhadap kepahlawanan di masyarakat itu hanya berhenti pada pertemuran dan keberanian itu.
Patung-patung yang ada di pinggir jalan itu masih diisi dengan seragam tentara, baju jenis drill dengan peci dan senjata yang terselip. Atau pasukan dengan senjata dan lingkaran peluru yang menjadi kalungnya. Tidak hanya patung tetapi juga gambar-gambar di buku, majalah dan lainnya. Apalagi sekarang cenderung ada pihak-pihak yang seolah berburu pahlawan sehingga dapat dipakai sebagai alat politis.
Padahal, dilihat dari sisi nilai dan kebudayaan, sesungguhnya pahlawan dan kepahlawanan itu jauh lebih luas dari sekadar pameran fisik seperti yang diutarakan di atas. Dari sisi nilai, yang terlihat adalah keberanian, keseriusan, konsistensi, dan konsekuensi. Mereka adalah pemberani, serius, terus-menerus melakukan perjuangannya dan berani menghadapi risiko dari pilihan perjuangannya tersebut.
Intisari kepahlawanan sesungguhnya ada pada nilai ini dan pada konteks inilah nilai tersebut bisa disebarluaskan. Jika penyebaran dan sosialisasi itu berhasil, ia akan menjadi sebuah budaya dan diberdayakan.
Bisa dibayangkan, berapa model budaya yang bisa diambil dari berbagai pahlawan yang ada di Indonesia itu, bahkan sejak zaman Sriwijaya, dan budaya itu diberdayakan sehingga mampu menggerakkan masyarakat, hingga generasi sekarang. Tetapi, sosialisasi itulah yang tidak dilakukan terhadap pahlawan-pahlawan masa lalu Indonesia.
Berjuang secara berani, konsisten, serius, dan berisiko tidak hanya dapat dipraktikkan pada zaman perang fisik dan gerilya pada masa lalu, tetapi juga pada zaman sekarang. Nilai-nilai yang ada pada diri pahlawan itu jika ditransfer dan diberdayakan kepada generasi muda kita dalam mengkreasi pekerjaan baru, pasti akan menghasilkan output dan outcome yang luar biasa.
Pekerjaan itu bisa di bidang ekonomi, teknologi, kerja sama sosial, internasional, pembaruan dan lain sebagainya. Seorang mahasiswa yang baru lulus S1 dari perguruan tinggi mana pun di Indonesia, tidak akan merengek cengeng hanya untuk meminta pekerjaan (apalagi diantar oleh orang tuangnya hanya untuk melamar pekerjaan), tetapi mereka akan membuka lapangan kerja baru. Mereka akan berjuang, serius, konsisten, dan berani menerima risiko termasuk pemperbaiki kinerjanya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Jadi, dari konteks itu, sesungguhnya pahlawan pada masa lalu harus direstorasi ulang, digali lagi nilai yang ada di dalamnya untuk disebarkan kepada generasi muda sekarang. Maka, jika ada gejala generasi muda sekarang seolah lupa dengan kepahlawanan pada masa lalu, karena cara pandang mereka sudah lain dan ditarik ke masa kekinian.
Generasi mudah sekarang memerlukan intisari kepahlawanan masa lalu. Jika kini mereka melihat kepahlawanan tersebut kepada nilai-nilai keberhasilan dan inovasi yang berdampak dan berguna pada rakyat banyak, karena itulah realitas yang mengagumkan bagi mereka pada zaman sekarang, yang mampu membangkitkan semangat mereka. Itulah yang kemudian dipakai patokan. Indonesia akan bersyukur, jika yang dikagumi itu adalah orang Indonesia. Tetapi mempunyai kecenderungan berbahaya, apabila itu terjadi pada orang asing.
Namun, bangsa Indonesia tidak perlu merasa kecil hati. Kita hanya tinggal mengutak atik metode sosialisasi terhadap kepahlawanan tersebut. Puluhan pahlawan Indonesia dari Sabang sampai Merauke ini mempunyai nilai yang sama, yaitu semangat, keberanian, konsistensi, serta risiko perjuangannya.
Tetapi mereka berasal dari budaya yang berbeda-beda dan pola perjuangan yang berbeda. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau kemudian nilai-nilai tersebut digabungkan dengan budaya dan pola perjuangan itu, lalu dikupas dan disosialisasikan kepada generasi milenial sekarang untuk menghadapi tantangan generasi milenial itu. Pasti akan menjadi generasi yang jauh lebih hebat.
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi, FISIP Universitas Udayana