Pataka I Gusti Ngurah Rai disambut saat pelaksanaan napak tilas, Jumat (9/11). (BP/dok)

Mungkin yang diperlukan oleh bangsa Indonesia sekarang adalah berpaling ke masa lalu. Bukan untuk hidup pada zaman ketika pedesaan masih diterangi oleh lampu teplok atau ketika anak-anak sekolah dasar harus nyeker, tidak bersepatu ke sekolah dan menempuh perjalanan menyeberangi sungai untuk sekolah, akan tetapi untuk melihat semangat tersebut.

Semangat untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Anak-anak yang harus belajar sambil menyeberangi sungai tersebut adalah upaya untuk mengejar ketertinggalan.

Tetapi yang secara nasional harus kita lihat adalah bagaimana mereka yang dipredikatkan sebagai pahlawan itu, memberikan semangat dan sikap konsistennya demi membela bangsa dan negara. Dan tentu tujuannya adalah untuk merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Itulah maka, setiap tanggal 10 November, kita memperingati hari pahlawan. Teladan harus tetap dipelihara dan harus disebarkan melalui generasi terbaru agar segala nilai yang mereka miliki dapat tertanam dengan baik kepada generasi baru. Setiap negara memerlukan nilai keteladanan ini agar generasinya dapat menyimpan semangat itu dengan baik, dan menggunakan manakala diperlukan.

Baca juga:  Bukan dengan Larangan

Namun, jika kita bandingkan dengan kondisi sosial Indonesia saat ini, justru berpaling ke masa lalu itu diperlukan untuk memberikan peringatan kepada mereka yang melakukan tindakan-tindakan korupsi. Pelaku ini bukanlah tindakan yang patut dipelihara.

Pertama, karena pekerjaan itu sama dengan pencurian, dan pencurian ini berskala  besar karena melingkup negara. Kedua, korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang umurnya jauh melebihi para pahlawan kita pada masa lalu.

Bayangkan saja, mereka yang berjuang di medan perang tahun 1945 masih berjuang kurang dari 30 tahun, bahkan ada yang belasan tahun. Pada seumur itu saja mereka sudah mampu memperlihatkan keberanian, secara jujur memelihara konsistensinya menghadapi tantangan dan tanpa minta balasan.

Baca juga:  Lewat Teater, Generasi Muda Asah Kemampuan dan Disiplin

Lalu bandingkanlah dengan para koruptor kita pada jaman sekarang. Mereka berumur di atas empat puluh tahun, sebuah usia yang seharusnya sudah matang dan tidak perlu lagi melakukan hura-hura untuk kepuasan diri.

Di samping umur yang sudah dewasa, mereka juga sudah berpendidikan tinggi. Mayoritas dari koruptor di Indonesia berlatar belakang pendidikan tinggi, bukan sekadar S1, tetapi sudah sampai S3, jenjang pendidikan paling tinggi. Di samping pendidikan tinggi dengan berbagai jenjangnya itu, mereka juga telah kaya dan memiliki berbagai koleksi tempat tinggal di mana-mana. Terlebih lagi, mereka hidup bergelimang uang di perkotaan dan sering bepergian ke luar negeri.

Jika dibandingkan alangkah bertolak belakangnya mereka antara pahlawan dengan para koruptor tersebut. Bukan saja bertolak belakang dari sisi umur, tetapi hampir semua kategori mereka bertolak belakang.

Baca juga:  Komitmen Menjaga Kawasan Budaya

Dengan melihat perjalanan waktu, kita semua merasa bersalah dan malu, mengapa puluhan tahun setelah kemerdekaan itu telah berhasil direbut, sedikit pun tidak dapat kita pelajari dan teladani apa yang dilakukan oleh pahlawan kita pada masa lalu.

Maka dari konteks itulah, kita ingin melihat ke belakang. Kita harus menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam diri pahlawan dan kepahlawanan pada masa lalu itu. Para koruptor haruslah secara lebih baik melihat latar sejarah agar mempunyai rasa malu dan meminta maaf kepada para pahlawan kita. Sekarang, kita semua harus lebih menggali lebih banyak nilai-nilai yang tertanam pada pahlawan kita.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *