Para pengusaha beserta karyawan yang terdampak oleh penutupan toko-toko jaringan mafia Tiongkok saat menyampaikan aspirasi ketika diterima Komisi IV DPRD Bali. (BP/rin)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penutupan toko-toko jaringan mafia Tiongkok membawa ekses bagi usaha lain seperti travel agent, watersport, SPA, pedagang makanan, hingga pramuwisata (guide). Utamanya terkait penurunan jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok setelah toko-toko ditutup. Para pengusaha beserta karyawan yang terdampak sampai mengadu ke DPRD Bali, Senin (12/11). Menariknya, salah seorang dari mereka bahkan berharap agar Bali bekerjasama dengan mafia.

“Toko ini bukan cuma di Indonesia, mereka di seluruh dunia mereka menjadi mafia. Kita sebagai masyarakat kalau misalnya nggak bekerjasama dengan mafia, orangnya (wisatawan, red) sedikit yang datang,” ujar Hendi yang berprofesi sebagai pramuwisata.

Hendi menambahkan, mafia Cina dan Hongkong per harinya berani mengeluarkan uang miliaran bahkan triliunan rupiah untuk mendatangkan wisatawan Tiongkok ke Bali. Menurutnya, yang diperlukan Bali bukanlah tamu berkualitas tapi kuantitas. “Peraturannya cuma 1, harus masuk ke toko. Tapi gak maksa belanja. Kalau kita larang, tidak datang tamunya. Mau tidak mau kita harus merestui,” imbuhnya.

Pengusaha Travel, Rusli Wisanto mengaku rugi karena toko-toko yang ditutup membatalkan kontrak secara sepihak. Itu artinya, ia tak lagi menerima subsidi sebanyak jumlah wisatawan Tiongkok yang mendarat di Bali. Sementara satu orang tamu dihargai sekitar 205 USD oleh toko-toko tersebut.

Baca juga:  Bersaing Secara Internasional, SDM Pariwisata Didorong Berinovasi

“Subsidinya tergantung berapa toko yang masuk. Per toko kan per kepala lain harganya. Jadi paling full sih sekitar 205 USD,” ujar pria yang akrab disapa Kris ini. Menurut Kris, ia masih memiliki sekitar seribu wisatawan Tiongkok yang akan datang sampai akhir bulan. Kerugian yang dialaminya tinggal dikalikan dengan 205 USD. Saat low season, tamu Tiongkok yang datang ke Bali jumlahnya sekitar 1500 orang per bulan. Sedangkan di high season bisa mencapai 3000an lebih.

“Kita nggak besar, kita kecil. Cuma yang kecil ini yang berdampak, yang besar itu mungkin tidak akan keluar suara karena banyak proses administrasi yang tidak dijalankan. Istilahnya jangan nanti setelah kejadian ini, pihak yang punya modal gede yang jadi penguasa di Bali,” jelasnya.

Pelaku UMKM di Bongkasa, I Wayan Setiawan menyebut pendapatannya kini berkurang drastis. Sebelum masalah toko-toko Tiongkok mencuat, ada seribu lebih wisatawan Tiongkok yang datang ke Bongkasa. Tapi sekarang hampir tidak ada lagi tamu yang datang. Padahal ada usaha rafting yang mempekerjakan tenaga kerja lokal disana.

Baca juga:  Prabowo Temui Sejumlah Pemimpin Perusahaan Besar di AS

“Sebelum mencuat, kedatangan wisatawan ke desa kami kan ramai. Dampaknya ada untuk para guide, terus masyarakat yang jualan, kontribusi ke banjar. Kan ada kita dapat dari tamu. Semuanya merasakan perputaran ekonomi dari yang katanya wisatawan sampah. Dulu wisatawan elit, kami cuma nonton,” jelasnya.

Setiawan meminta pemerintah agar mencari solusi terlebih dulu sebelum melakukan penutupan toko-toko jaringan Tiongkok. Pengusaha wisata tirta di Nusa Penida, I Putu Darmaya mengatakan, masalah besar setelah toko-toko jaringan Tiongkok ditutup adalah siapa yang akan membawa wisatawan negeri tirai bambu ke Bali. Selama ini, toko-toko itulah yang membawa tamu ke Bali dengan cara investasi.

“Justru pemerintah sebenarnya diuntungkan karena tanpa mengeluarkan uang pun tamu sudah datang. Siapa yang membawa datang? Mereka-mereka (toko jaringan Tiongkok, red) inilah. Nah sekarang mereka ditutup,” ujarnya.

Kalau memang ada penyimpangan yang dilakukan, lanjut Darmaya, mestinya diajak duduk bersama. Bukan berarti pihaknya lebih mendukung kuantitas, karena kualitas tamu juga harus diutamakan. Hanya saja, hal itu kembali lagi pada budget yang dimiliki wisatawan. Sekarang tinggal pemerintah mau memilih yang mana.

Baca juga:  Rapat Paripurna DPRD Bali Diwarnai Interupsi Soal Bali Dijual Murah

“Kalau kita sih harapannya semuanya, kualitas bagus ada, kualitas jelek juga ada. Satu bagian yang murah, satu bagian yang mahal. Jangan sampai kita menyalahkan pasar, kita harus memilah. Pasar murah di-cut apabila tamu di Bali itu sudah full dengan kualitas yang bagus. Tapi semasih tamu mahal tidak ada, kenapa tidak kita ambil yang murah dulu,” paparnya.

Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta menegaskan bila bisnis yang dijalankan di Bali harus sehat. Oleh karena itu, penutupan toko-toko tidak berijin dan yang sudah berijin tapi usahanya tidak sehat tetap harus dilakukan. Disisi lain, hal ini rupanya membawa dampak pada pihak-pihak yang tidak berkaitan langsung dengan toko-toko jaringan Tiongkok.

“Ada usaha swing, watersport, SPA, dagang babi guling, yang ternyata tidak ada hubungan dengan toko tapi rugi karena toko ditutup. Ini harus segera ditata agar bangkit lagi,” ujarnya. (rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *