Siti Zuhro. (BP/har)

JAKARTA, BALIPOST.com – Polemik pungutan atau retribusi berbekal Peraturan Desa Adat (Pararem) yang berujung pada upaya pemidanaan Bendesa Adat harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan kearifan lokal adat istiadat daerah setempat. Oleh karena itu, apabila ada persoalan hukum maka cara penyelesaiannya sebaiknya melalui pendekatan desa adat setempat.

Penegasan disampaikan Peneliti Utama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyikapi kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Objek Wisata Pura Tirta Empul dan disebutnya Bendesa Pakraman Manukaya Let, I Made Mawi Arnata sebagai calon tersangka.  “Di Undang-Undang Desa itu kan pakai dua (Peraturan Desa dan Peraturan Desa Adat). Jadi desa dinas mungkin mengacunya seperti itu (hierarki perundangan), tapi kalau desa adat mungkin pada kesepakatan-kesepakatan lokal. Ya jadi penyelesaiannya pada kearifan lokal. Makanya kalau polisi mau menyelesaikan, ya… harus secara adat,” kata Siti Zuhro di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/11).

Baca juga:  Identitas Pariwisata Bali Hilang Jika Bersertifikasi Halal

Peneliti yang dikenal sebagai pengamat otonomi daerah ini mengatakan dalam hal ini, ia tidak memposisikan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam persoalan ini. Menurutnya polisi sebagai lembaga penegak hukum berpegang pada mekanisme dan prosedur baku hukum positif yang ada.

Sebaliknya, perangkat desa termasuk Bendesa adat sendiri memang punya peraturan yang disepakati bersama di desa adatnya. “Tapi menurut saya, masalah etika uang kutipan. Yang kaya gitu, entah desa adat maupun desa apapun, etikanya memang harus di atas hukum, apabila ada pihak yang merasa tidak pas pasti ada yang teriak. Tapi memang polisi harus hati-hati apabila berbicara menyangkut nilai-nilai budaya lokal,” ujarnya.

Baca juga:  Sambut Wisatawan Tiongkok Setelah Pandemi, Wagub Cok Ace Bahas "Jual Beli Kepala"

Terkait adanya dugaan unsur pidana, termasuk kemungkinan proses hukum yang dapat menjerat perangkat desa adat menjadi tersangka, Siti Zuhro berpendapat sangat dimungkinkan bisa memanaskan situasi di daerah setempat. “Berantem bisa. Menurut saya, orang sana kan polisinya juga orang Bali. Jadi ya…diselesaikan secara adat ya!’ tegasnya lagi.

Lebih jauh, ia menjelaskan dari pemahamannya, Peraturan Desa Adat memang bukan menjadi acuan untuk hal-hal berkaitan dengan retribusi, karena meskipun ketetapan desa adat harus diakui keberadaannya. Apalagi, kata dia, Bali sarat dengan adat istiadat dan nilai-nilai budaya lokalnya sangat luar biasa. “Jadi menurut saya, biarkan Bali itu tetap berkembang dengan nilai-nilainya sendiri. Apalagi, apabila dibandingkan antara desa dinas dengan desa adat, lebih memiliki massa ke desa adat. Masyarakatnya lebih taat kepada desa adat, karena menyangkut dari kontennya nilai-nilai masyarakat setempat,” ucapnya.

Baca juga:  Polda Bali Amankan Puluhan Penginapan Delegasi WWF ke-10

Ia berharap untuk persoalan yang menyangkut penegakan hukum, perlu mengedepankan sosialisasi lebih dulu sebelum melakukan tindakan. “Kalau dinyatakan menutup itu salah, polisi harus melakukan sosialisasi secara pendekatan hukum, yang ini boleh, yang ini tidak boleh. Bahkan, polisi harus juga tahu seperti apa aturan main di desa adat itu,” katanya.

Pada dasarnya, kata Siti Zuhro, penegakan hukum bertujuan agar masyarakat bisa terikat secara hukum. “Untuk itu perlu sosialisasi. Masyarakat kan memang terkadang tidak terlalu banyak pengetahuan dan pemahamannya. Nah ini yang memang perlu pemahaman bersama,” sebutnya. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *