Desa pakraman mesti diayomi. Perlindungan terhadap desa pakraman tentu tidak bisa dilakukan secara temporer saat ada kepentingan politik dan kepentingan pencitraan. Desa pakraman adalah ruang hidup komunitas umat Hindu yang di dalamnya ada tanggung jawab moral untuk mengawal budaya, tradisi, dan ritualnya.
Tanggung jawab ini perlu biaya dan biasanya juga banyak. Untuk itulah, desa pakraman membuat berbagai upaya untuk mendapatkan dana selain dari pos dana punia umat dan urunan wajib. Pos anggaran menjaga tradisi inilah yang diputuskan lewat pararem dan mengikat.
Dalam konteks pemberdayaan desa pakraman dan tantangannya dengan penegakan hukum positif, maka harus ada titik temu. Penerapan secara sepihak hukum positif terhadap desa pakraman tentu tidaklah elok. Bali sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu memiliki identitas dan jati diri. Terkadang untuk menjaga jati diri ini ada aturan khusus dan kesepakatan khusus. Tanggung jawab moral menjaga jati diri ini juga tak sebatas sejalan dengan hukum positif. Ada rasa di dalamnya. Ada tanggung jawab moral dan keyakinan yang juga menjadi identitasnya.
Untuk itulah, ketika kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap petugas pungutan desa pakraman di objek wisata, kepedulian itu bangkit. Pandangan terhadap otoritas desa pakraman mengalir deras. Ini tentu harus kita kelola dan posisikan sebagai sebuah reaksi. Bisa saja reaksi ini bermakna protes atau bisa juga sebagai bentuk kekhawatitan. Bahkan, mungkin juga ini sebuah kritikan ketika kepekaan pejabat dan penegak hukum terhadap otoritas desa pakraman dianggap belum memadai. Yang jelas, mengelola dan menjaga martabat Bali, bisa kita awali dengan menjaga independensi dan otoritas desa pakraman.
Sebagai sebuah komunitas, desa pakraman jelas memiliki rujukan dan aturan main. Semua komunitas sosial yang masuk wilayah desa pakraman dan menjadi warga desa pakraman sangat paham dengan ketentuan yang mengikatnya. Hukum adat yang menjadi rujukan dan tata kelola desa pakraman jelas tidak semuanya sejalan dengan hukum positif. Namun, jika kita cermati tujuan dari hukum adat itu juga untuk menciptakan kedamaian stabilitas. Lalu, apa gunanya menegakan hukum ketika gejolak sosial muncul dan stabilitas berpotensi terganggu? Ada kalanya penegakan hukum memerlukan rasa dalam hal ini rasa keadilan dan keberpihakan.
Bagi masyarakat Bali, yang dalam hal ini memeluk keyakinan Hindu, hukum adat ini juga aturan yang kami sangat hormati dan kami jalankan dengan sepenuh hati. Itu artinya, ketika apa yang diputuskan desa pakraman untuk menjaga jati diri dan martabatnya, sepantasnya juga mendapatkan pengakuan dari semua pihak. Apalagi UUD Dasar 1945 engakui bahwa hak-hak adat mendapat ruang jelas di negeri ini.
Untuk itu, agar ada kepastian posisi dan perlakuan hukum positif terhadap hak-hak desa pakraman maka ruang dialog harus dilakukan. Dialog tentu akan melahirkan kompromi yang lebih jelas dan terukur untuk memayungi desa pakraman. Pendekatan hukum dalam konteks ini hendaknya lebih arif, bukan sekadar memilah antara pelanggaran dan pidana. Dalam konteks ini, para Bupati/Wali Kota dan Gubernur hendaknya menjadi pengayom bukan malah memosisikan diri sebagai pihak yang membuka ruang terjadinya penghakiman terhadap ruang adat.
Tentu, kita sebagai umat Hindu akan sangat hormat kepada pemimpinnya yang peka dengan masalah adat dan melakukan perlindungan. Peka bukan sebatas membangun fasilitas adatnya, tapi membangun karakteristik SDM Hindu yang berdaya saing. Peka bukan berarti datang dan berpihak saat ada kepentingan politik, melainkan selalu bersama desa pakraman untuk menghadapi tantangan dan dinamika zaman.
Untuk itulah, apa yang dicapai dalam pertemuan di DPRD Bali terkait dengan kesepakatan bahwa saber pungli tak akan masuk ke ranah desa pakraman adalah kemajuan diplomasi dan komunikasi antara pihak di Bali. Semoga kebaikan dan niat baik menjaga martabat Bali datang dari semua pihak, tak hanya bagi orang Bali yang setia menjaga tradisi dan budayanya.