DENPASAR, BALIPOST.com – DPRD Bali sebelumnya telah mengeluarkan rekomendasi terkait rantai jaringan usaha asing yang berusaha di Bali. Salah satunya, menutup usaha yang tidak memiliki ijin maupun usaha yang sudah memiliki ijin tapi melakukan praktek yang tidak sehat.
Nyatanya, rekomendasi ini tidak hanya berlaku untuk toko-toko jaringan mafia Tiongkok. “Kami merekomendasikan penegakan hukum secara keseluruhan dan bukan saja ke satu jaringan negara yang melanggar saja,” ujar Anggota Komisi II DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana kepada Bali Post, Jumat (16/11).
Adhi Ardhana menegaskan, semua hal yang direkomendasikan DPRD dan diputuskan oleh pemerintah daerah pada intinya adalah penegakan hukum. Itupun sudah disepakati oleh seluruh stakeholder pariwisata pada saat rapat kerja yang digelar DPRD Bali melibatkan Wakil Gubernur Bali, komponen pariwisata, unsur kepolisian, imigrasi, serta OPD terkait pada 31 Oktober lalu.
Tapi saat ini justru beredar wacana, utamanya di media sosial, yang menyebut gubernur ngamuk bahkan tendensius kepada suatu negara yakni Tiongkok. “Wacana itu tidak benar. Gubernur hanya menegakkan rekomendasi serta keputusan yang telah diambil bersama dengan seluruh stakeholder kepariwisataan. Kami di Komisi II pun sudah beraspirasi ke Kementrian Pariwisata pada tanggal 8 November,” jelas Politisi PDIP asal Kota Denpasar ini.
Menurut Adhi Ardhana, aspirasi ke Kementrian Pariwisata adalah untuk menyampaikan ke negara-negara yang berkepentingan bahwa tidak ada rekomendasi ataupun keputusan yang tendensius kepada suatu negara. Bali justru tegas dalam penegakan hukum serta taat pada perundangan yang berlaku karena tidak mungkin melegalkan sesuatu yang salah.
Seperti pada kasus toko-toko jaringan mafia Tiongkok yang akhirnya ditutup, tidak hanya bermasalah pada perijinan. Toko-toko itu juga menjual barang yang tidak memiliki korelasi dengan pariwisata apalagi destinasi. “Investasi yang tidak sesuai peraturan, ada pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan, dan seterusnya. Kalaupun berdampak tentu ini justru menunjukkan losses devisa kita bahkan jauh lebih besar, karena kegiatan resmi, sah justru hasil subsidi dari keuntungan hasil yang dapat dikatakan tidak sehat tersebut,” imbuhnya.
Itu sebabnya, lanjut Adhi Ardhana, Bali dikatakan sebagai negara yang penuh penipu di media sosial Tiongkok. Kalaupun sekarang ada yang menyatakan penurunan wisatawan negeri tirai bambu dan ekses lainnya, itu bukan semata-mata soal isi kesepakatan bersama. “Selain memang memasuki low season, juga bersifat parsial dan bukan pernyataan perhimpunan atau asosiasi yang menaungi,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)