SINGARAJA, BALIPOST.com – Pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2018 di Buleleng telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sesuai hasil audit, ditemukan 9 poin kesalahan yang dilakukan dalam pengelolaan dana itu.
Sejumlah temuan adalah kesalahan administrasi sedangkan terdapat temuan yang mengarah pada kesalahan alokasi anggaran, sehingga sekolah terpaksa mengembalikan dana BOS ke rekening sekolah. Untuk selisih anggaran ini, BPK mencatat terjadi di 60 sekolah dengan nilai temuan mencapai Rp 900 juta.
Menyusul temuan BPK itu, DPRD Buleleng telah membentuk Panitia Kerja (Panja). Mulai Senin (19/11), panja membahas laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK secara intensif. Rapat dipimpin Ketua Panja Nyoman Gede Wandira Adi bersama angotanya dan Kepala Dinas Pendidikan Pemdua Olahraga (Disdikpora) Gede Suyasa.
Kepala Disdikpora Gede Suyasa mengatakan, temuan administratif itu diantaranya terkait standard operational procedure (SOP) terkait pengadaan buku di sekolah. Dalam pelaksanaannya, banyak buku yang terlambat diterima oleh sekolah, sementara pengadaannya sudah selesai dan sekolah telah membayar kepada rekanan.
Kondisi ini diperparah lagi karena sekolah tidak membuat surat perjanjian kerja (SPK), sehingga walau rekanan terlambat merealisasikan buku, sekolah tidak bisa mengenakan sanksi atas keterlambatan pekerjaan. Menghindari masalah ini, tahun berikutnya, manajemen BOS di Disdikpora diminta untuk mendampingi sekolah dalam membeli buku BOS.
Selain itu, dalam pengadaan perangkat komputer, sesuai juknis BOS bisa digunakan membeli lima unit perangkat komputer. Tapi dalam pelaksananya, ada sekolah yang membeli hingga 20 unit perangkat komputer. Ini dilakukan mendukung pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) mandiri.
Pengadaan perangkat komputer melebihi ketentuan sebenarnya bisa dilakukan asalkan ada kesepakatan antara dewan guru dengan komite sekolah. Sepanjang ada kesepakatan sekolah dapat mengadakan perangkat komputer sesuai kebutuhan. “Masih ada beberapa temuan administratif yang belum diselesaikan,” jelasnya.
Selain itu, temuan LHP BKP lebih kepada sifatnya situasional. Dia mencontohkan, dalam juknis, sekolah hanya bisa membeli dua buah spanduk untuk menunjang kegiatan di sekolah. Faktanya, masih banyak kegiatan yang memerlukan pembuatan spanduk. Atas kondisi ini, sekolah pun kebingungan dan terpaksa menggunakan dana BOS untuk membuat spanduk lebih dari dua kali.
Selain itu, dalam upacara hari raya Hindu, sekolah tetap memakai dana BOS meskipun dalam juknis tidak diatur. “Ya kita tidak menyalahkan sekolah karena memang banyak kebutuhan spanduk yang harus dibuat, termasuk banten,” sebutnya.
Sementara itu, terkait temuan selisih di 60 sekolah penerima dana BOS. Total selisih dana itu mencapai Rp 900 juta. Rincian masing-masing sekolah bervariasi mulai dari Rp 6 juta ke atas.
Sebelum LHP BPK sekolah itu sudah mengembalikan selisih dana BOS itu melalui rekening BOS di sekolah bersangkutan. Dana itu sebenarnya masih bisa digunakan oleh sekolah, tetapi masih menunggu sampai dana tersebut dimasukkan dalam sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) APBD. (Mudiarta/balipost)