Oleh Adi Soekariawan
Nilai dasar pendidikan yang saat ini selalu ditekankan adalah nilai pendidikan karakter, dan kejujuran menjadi karakter utama yang ditanamkan di setiap lembaga pendidikan formal. Kejujuran seharusnya selalu menjadi penting di mata setiap pendidik, baik itu orang tua, guru, maupun pemerintah.
Jika melihat perkembangan kurikulum, kejujuran selalu termuat dalam pengembangannya, tetapi pada pelaksanaannya sering termarginalkan oleh nilai-nilai kognitif yang menentukan mereka untuk diterima di perguruan tinggi. Lalu dampaknya menjadi jelas hingga sekarang, hampir kebanyakan siswa akan selalu mengejar nilai-nilai kognitif yang baik agar dapat diterima di perguruan tinggi pilihan dan favorit.
Dalam proses mendapatkan nilai yang baik tersebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa siswa akan melakukan berbagai cara, baik itu cara yang baik ataupun yang kurang baik. Dinyatakan adanya sekolah berintegritas pada beberapa tahun sebelumnya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengindikasikan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional dalam penentuan kelulusan. Adanya moto berani jujur itu hebat, memberikan tanda bahwa ada ketidakjujuran yang dilakukan oleh siswa dalam skala nasional. Menjadi pertanyaan, mengapa banyak siswa yang berlaku tidak jujur?
Dalam Hukum Newton ketiga, secara sederhana, ketika ada sebuah aksi maka secara langsung sebuah reaksi akan terjadi dengan arah yang berlawanan dengan besar yang sama. Lebih sederhananya, akan ada reaksi bila ada aksi atau hukum dasar dari sebab-akibat. Reaksi siswa yang berbuat kurang jujur untuk meraih nilai yang baik adalah aksi dari kebanyakan orang tua yang menilai bahwa nilai yang baik sebanding dengan nama keluarga yang baik.
Diterima di perguruan tinggi favorit atau jurusan favorit adalah kebanggaan bagi keluarga dan dirasa akan memiliki masa depan yang lebih baik. Pemaksaan keinginan orang tua terhadap anak sering kali terjadi, tanpa memerhatikan minat dan bakat mereka yang sesungguhnya. Pemaksaan ini bisa disadari oleh orang tua dan anak, tetapi dengan alasan untuk membuat hidup yang lebih bermartabat dan layak, tidak dimungkiri hal ini dapat terjadi. Penyebab ini merupakan faktor dari internal keluarga.
Aksi yang paling besar pengaruhnya terhadap siswa adalah adanya contoh nyata perilaku tidak jujur yang justru terlihat tidak terjadi apa-apa pada pelaku ketidakjujuran tersebut. Contoh nyata tersebut menghasilkan reaksi yang sebanding dari siswa. Mereka para siswa akan berpikir, bahwa curang asal tidak ketahuan akan baik-baik saja, justru itu akan membawa saya pada keberhasilan. Ini adalah faktor penyebab eksternal yang paling buruk dalam meningkatkan ketidakjujuran.
Berikutnya adalah peran guru yang berseberangan dengan beberapa orang tua. Kenapa beberapa orang tua? Karena ada beberapa orang tua yang berdiri sejajar dengan guru dalam mendidik anaknya, tetapi ada juga guru yang tidak hanya berhadapan dengan siswanya, justru berhadapan dengan orang tua siswa karena perbedaan pandangan dalam mendidik.
Dan parahnya, orang tua lebih mempercayai anaknya daripada gurunya. Guru yang konsisten pastinya akan mampu bertahan dengan idealisme dan semangatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi bagaimana dengan guru yang berkomitmen rendah dan membutuhkan penghasilan yang lebih agar lebih sejahtera? Semua faktor ini bekerja sinergis dalam meningkatkan ketidakjujuran dalam pendidikan kita saat ini.
Dampak ketidakjujuran dalam dunia pendidikan tentu saja bisa banyak dan luas. Tetapi mari kita fokuskan kepada peristiwa yang beberapa tahun ini sering dilakukan oleh operasi senyap KPK, operasi tangkap tangan (OTT) para legislator dan eksekutor. Apakah mereka produk dari pendidikan? Apakah produk sebuah pembelajaran adalah koruptor?
Ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada para guru saat ini, ketersinggungan dapat saja terjadi. Tetapi jika ini dibantah, maka kita sebagai pendidik tidak mengakui bahwa itu adalah fakta. Setiap orang mempunyai perannya masing-masing dalam mendidik seseorang hingga orang tersebut mempunyai karakter, atau yang lebih dikenal mempunyai jati diri.
Berubahnya karakter seseorang menunjukkan tidak kuatnya karakter yang ditanamkan sewaktu masa pendidikan formal. Jadi, harus diakui bahwa ada kekurangan dalam proses pendidikan kita. Banyaknya materi hitung-hitungan di tingkat sekolah dasar juga dapat mengakibatkan jenuhnya siswa sekolah dasar yang seharusnya lebih banyak belajar memahami lewat permainan.
Kedalaman materi yang tidak sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dapat membuat siswa kehilangan motivasi karena materinya yang sulit. Pengembangan kurikulum berdasarkan kebutuhan kehidupan dengan mengedepankan karakter yang kuat wajib dilakukan pada pendidikan saat ini.
Penulis, guru di SMAN 3 Denpasar