Ilustrasi. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Memandang budaya baca sebagai salah satu ciri masyarakat modern dan untuk mewujudkan hal ini, pemerintah membangun berbagai perpustakaan. Namun ironis, perpustakaan gagal membawa masyarakat pada transformasi sosial dari masyarakat lisan menuju masyarakat beraksara atau literasi. Perpustakaan kota, apalagi perpustakaan desa hampir mati. Demikian pula perpustakaan sekolah sejak lama tidak berperan dengan berbagai dalih. Namun demikian, kegagalan bangsa untuk menjadi modern dari aspek keberaksaraan atau literasi, tidak pernah dipersoalkan.

Membaca yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat modern di Indonesia adalah hal yang ekslusif. Membeli buku untuk bacaan keluarga tidak prioritas karena itu sangat sulit menemukan koleksi buku di rumah-rumah, selain buku pelajaran sekolah dan kitab suci. Sementara itu, barang-barang yang harganya jauh lebih mahal dari buku, dengan mudah bisa dijumpai.

Keadaan tersebut menimbulkan ketergantungan terhadap sumber informasi lisan di masyarakat melalui ngobrol atau bergosip. Masyarakat tidak mandiri dalam memperoleh informasi karena mereka selalu bertanya kepada orang lain yang sama-sama tidak mengetahui, ketimbang dengan cara membaca. Akibatnya, pertumbuhan intelektual atau kecerdasan masyarakat stagnan karena tidak mendapatkan asupan pengetahuan atau informasi yang berkualitas dan memadai jumlahnya.

Sebelum internet menguasai kehidupan, ketimbang koran, masyarakat lebih tertarik menyimak tayangan televisi dan dari sini mereka memperoleh sedikit informasi yang kualitasnya bergantung kepada program televisi yang lazimnya dangkal, karena dunia televisi adalah dunia lisan. Karena itulah koran tidak penting karena merupakan budaya aksara.

Baca juga:  Testimoni Bali Dikepung Hotel

Di era Revolusi 4.0 ini, dunia digital telah menggantikan dunia buku, koran, televisi, film, video, media yang telah menjadi amat kuno. Manusia menemukan dunia baru (digital). Pada dunia ini mereka hidup dalam komunalitas digital, ketika segala yang sosial-fisik mengalami digitalisasi menjadi teks (kata) dan citra (visual).

Manusia kini hidup dalam dunia baru, demikian pula dalam literasi. Perpustakaan buku, rak, ruang baca, gedung, semakin sunyi. Masyarakat berinteraksi tanpa batas dalam keasingan sosial-fisik dan pada waktu yang bersamaan hidup dalam komunalitas digital yang mengasikkan, karena hal-hal baru seperti kebebasan individu, perlindungan privacy, kemerdekaan berekspresi, narsisme, dll., menjadi bagian dari dunia digital. Dalam dunia digital itu manusia sesungguhnya bersembunyi, saling intip, atas nama perkawanan atau persahabatan yang tidak jelas.

Salah satu ciri modernisasi adalah pemujaan nalar, rasio, atau logika yang diwujudkan dengan produksi informasi pengetahuan dan kemerdekaan atau kebebasan memperolehnya dan sekaligus juga memproduksinya. Perpustakaan adalah pusat-pusat yang berpengaruh dalam pengembangan nalar masyarakat, pusat belajar di luar sekolah yang terjadi tanpa guru, sebagai ciri khas dari perpustakaan sebagai lembaga belajar.

Seperti diawali dalam tulisan ini, perpustakaan Indonesia gagal mengubah masyarakat lisan menjadi masyarakat literasi atau beraksara. Karena itu, untuk merespons kritik internasional atas daya baca bangsa yang rendah dan adanya keinginan yang jauh melebihi respons itu, yakni menjadi bangsa literasi, maka sejak dua tahun lalu pemerintah menggagas Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang terwujud dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Gerakan Kampung Literasi (GKL). GLN sepertinya mengambil alih peran perpustakaan dan sekaligus sebagai pernyataan halus, bahwa lembaga ini sama sekali telah gagal.

Baca juga:  Berproses Budaya dan Saintifik

Kegagalan perpustakaan telah disadari sejak lama. Perpustakaan beroperasi hanya dengan menunggu pembaca datang, atau paling-paling menyelenggarakan perpustakaan keliling setengah hati. Cara kerja perpustakaan seperti ini cocok untuk masyarakat yang telah memasuki tahap literasi. Perpustakaan Indonesia tidak pernah melakukan gerakan membaca secara nasional, berkelanjutan untuk mengubah struktur masyarakat lisan menjadi masyarakat membaca.

Di tengah kegagalan itu tumbuh gerakan-gerakan membaca di pelosok-pelosok tanah air. Kegiatan membaca buku memasuki komunitas-komunitas terpencil yang dikombinasi dengan berbagai kegiatan lain sehingga membaca buku tidak lagi ekslusif tetapi menjadi bagian dari aktivitas hidup di kampung-kampung dan tidak berjarak. Demikianlah seorang ibu melakukan gerakan membaca dengan memboyong buku-buku di atas motor, seperti bakul sayur di Jawa, memasuki pelosok kampung dan berjumpa dengan aneka kalangan yang tergiring membaca.

Mengapa perpustakaan gagal dan tergantikan oleh gerakan-gerakan membaca di akar rumput? Perpustakaan gagal karena cara kerja atau operasinya pasif atau hanya melayani sebagaimana kantor-kantor birokrasi tempat masyarakat mengurus aneka jenis kartu atau formulir. Perpustakaan tak ubah sebagai kantor dan gudang buku. Para petugas nonton TV, ngobrol, mengantuk, main gawai, hanya menanti pengunjung mengetuk pintu. Perpustakaan memperlakukan buku sebagai agen-agen birokrasi.

Baca juga:  Keunggulan Komparatif Pariwisata Bali

Usaha membina, mendidik, merangsang, daya baca masyarakat tidak dilakukan. Peran dasar perpustakaan bagi masyarakat lisan adalah melakukan transformasi sosial menuju masyarakat beraksara. Jangankan perpustakaan umum, yang berurusan dengan berbagai lapisan masyarakat, perpustakaan sekolah saja yang hanya menghadapi siswa, gagal menjadikan siswa dan guru gemar membaca.

Dalam rangka GLN, GLS, GKL, perpustakaan harus bangkit dan becermin pada kegagalannya menjadikan bangsa ini literate, meninggalkan sikap birokrasi gudang buku, bergandengan tangan dengan para pegiat gerakan membaca di akar rumput, mengadopsi cara-cara mereka bergerak atau memfasilitasi gerakan mereka, sehingga perpustakaan bukan lagi sebagai kantor di kota-kota, tetapi menjadi lapak-lapak di atas perahu tempel, rumah buku di banjar-banjar  atau nagari, mobil-mobil yang bergerak menembus kabut desa pegunungan, sepeda motor bakul sayur meretas gang-gang kampung kumuh, semua bergerak di akar rumput Indonesia, menjadi bagian dari kesadaran besar untuk transformasi sosial menuju bangsa literasi.

Penulis, Dosen Undiksha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *