Oleh Dhanny S. Sutopo
Tahapan formal Pemilu yakni kampanye telah ditunaikan, namun meski tapal awal baru dikayuh namun suasana kampanye terasa cukup riuh bahkan semakin gaduh. Terutama dijagat media sosial (medsos).
Berita hoax bertebaran, warta kampanye hitam berserakan, informasi kampanye negatif berceceran di lini masa nyaris tanpa jeda. Medsos yang dirambah pun tidak hanya facebook atau twitter, medsos yang lain pun seperti instagram dan Youtube turut masif dirambah.
Hingga kegaduhan tersebut terbitkan bosan, jenuh bahkan muak pada para pengguna medsos. Sebagai catatan berdasarkan data pengguna terbanyak, adalah usia produktif, usia 19-34 tahun mencapai 49,52 persen. Di posisi kedua usia 35-54 tahun terdapat 29,55 persen, kelompok usia 13-18 tahun yakni 16,68 persen, dan pengguna dengan usia di atas 54 tahun yaitu 4,24 persen (globalwebindex, Januari 2018).
Jika para pengguna utama medsos merasa hiruk-pikuk kampanye pilpres terasa tidak menarik karena seolah menjadi kubangan cacian serta ceruk hujatan. Tentu hal ini jadi kontra produktif terhadap tahapan pemilu tersebut. Kampanye hanya sebuah cek kosong bagi mereka, tidak ada kegembiraan yang didapat ataupun barter pengetahuan yang diterima.
Pemilihan umum adalah salah satu bentuk indikasi stabil atau dinamisnya sebuah negara, di mana sekitar 20 persen dari seluruh pemilih adalah pemilih pemula. Dengan demikian, jumlah pemilih pemula sangatlah besar. Jika pemilih pemula dari awal telah mengambil sikap politik untuk apatis, maka bukan hal yang tidak mungkin jika pada pemilihan mendatang mereka tidak menggunakan hak pilihnya.
Memang kita berharap partisipasi dari para pemilih pemula pada pesta demokrasi semakin bergairah, sebab bila sedikit mengupas data pemilih pada gelaran Pilkada kemarin, para partisipan angkanya merangkak naik. Partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilkada di beberapa daerah, terutama daerah dengan populasi penduduk terbanyak, mengalami peningkatan. Provinsi Jawa Barat yang menduduki kursi populasi terpadat di Indonesia mengalami peningkatan angka partisipasi politik dari yang hanya 63 persen pada tahun 2013, sekarang bertengger di angka 73 persen.
Daerah Jawa Timur yang menempati daerah terpadat kedua di Indonesia, mengalami kenaikan dari angka 59,80 persen pada tahun 2013, menjadi 62 persen di Pilkada 2018. Provinsi Jawa Tengah, yang hanya berkisar di angka 63 persen, kini melonjak di angka 77 persen. Dan Sumatera Utara, sebagai provinsi terpadat keempat di Indonesia juga mengalami peningkatan partisipasi di bawah 50 persen, lalu pada Pilkada tahun ini bergerak di angka 64,90 persen (Indikator Politik Indonesia, Juni 2018).
Berpijak dari data tersebut, maka kelabunya masa kampanye akan menjadi mata air paceklik partisipasi. Dan ini menimbulkan tanya tentang peran media sosial, apakah media sosial telah menisbahkan hal positif yang efektif bagi situasi demokrasi deliberatif, sebab sekadar memanggil ingatan pengerahan massa lewat pawai meninggakan noda demokrasi dalam wujud keributan, anarkis, serta bentrokan dari benturan kelompok massa.
Untuk menjawab pertanyaan di atas dalam konteks Pemilihan Umum 2019, dapatlah kita berpijak pada teori kritis dari Jurgen Habermas di mana teori ini ditawarkan pertama kali oleh generasi Mazhab Frankrut (Frankruter Schule) yang dibangkitkan lagi oleh beliau dengan paradigma baru. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa konektivitas media sosial akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi.
Medsos bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global dan menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Namun di sisi lain, dapat menjadi ancaman bagi demokrasi dan pluralisme.
Rasanya kita harus jujur untuk mengatakan media sosial turut menjadi jelaga demokrasi ketika perbedaan pilihan terhadap kontestan calon presiden menjadi palagan antarkelompok. Jika kondisi tersebut tidak diakhiri para partisipan pemula yang ingin menggunakan hak suaranya menjadi poros ketiga dengan tidak memilih dapat menjadi keniscayaan.
Sekadar melintasi sejarah, tidak memilih atau golput pernah menjadi bayang-bayang dalam pemilihan umum di Indonesia. Pada tahun 1990-an, Arief Budiman seorang aktivis yang juga staf pengajar pada universitas di kota Salatiga, saat itu menggulirkan gerakan golput, gerakan moral terhadap kondisi bangsa yang masih sangat lebat dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Gerakan golput ideologis dengan tujuan mengkritik rezim juga terjadi di Malaysia baru-baru ini. Pada masa Pemilu Raya yang mempertemukan Mahathir Mohamad dan Najib Razak, sekelompok pemuda Malaysia muncul dengan tagar #UndiRosak mempromosikan gerakan golput alias tidak memilih Najib Razak maupun Mahathir Mohamad (www.pinterpolitik.com).
Ada asa terhadap media sosial dengan segala kelebihannya pada masa kampanye Pilpres kali ini sebagai lumbung informasi dan literasi yang memberikan edukasi terhadap para partisipasi pemula. Kita dukung mereka menggunakan hak suaranya, sekaligus merayakan kegembiraan dalam hajatan demokrasi pada 2019 nanti.
Penulis, dosen FISIP UB, sedang menempuh program doktoral di Unair