Dulu orang bercita-cita menjadi guru adalah mereka yang berotak cerdas atau pintar. Makanya hampir semua jabatan sosial di masyarakat motornya adalah guru.
Mereka bergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia alias PGRI. Ini sekaligus membuktikan bahwa guru adalah SDM berkualitas sekaligus profesional dalam bidangnya.
Dekade berikutnya, profesi guru mulai ditinggalkan orang dengan salah satu alasannya adalah gajinya tak menjanjikan.
Hidup menjadi guru sering disebut sangat pas-pasan. Mereka bisa memiliki rumah berkat keberaniannya berutang alias menggadaikan SK-nya di bank.
Profesionalisme guru benar benar teruji saat itu. Ini disebabkan calon guru lebih awal diseleksi masuk SPG atau SGO bagi calon guru olahraga dan TGA. Profesionalisme pedagogiknya benar-benar teruji karena didukung minat dan bakat. Mereka juga profesional di depan kelas, berwibawa, dan berpengaruh.
Dekade berikutnya, turunnya kebijakan pembatasan pengangkatan guru PNS. SPG dan sejenisnya dihapus. Namun, pemerintah memberi kebebasan lulusan non-kependidikan menjadi guru.
Cukup mereka mengikuti program akta IV selama enam bulan. Di sinilah terjadi penumpukan produksi guru yang justru banyak dari non-LPTK. Dari segi teoretis, mereka mumpuni, namun dari segi penguasaan ilmu mendidik dirasakan masih kurang. Inilah yang diwarisi dan menjadi tugas PGRI saat ini untuk membentuk guru profesional.
Paradigma ini juga membuat produsen guru yakni LPTK seperti IKIP dan FKIP akhirnya dipenuhi oleh lulusan yang tak diterima di fakultas lainnya. Bisa disebut menggeluti profesi ini hanya kebetulan. Atau mereka yang merasa diri miskin sehingga harus menjadi guru.
Gelombang tsunami menjadi guru ketika PGRI sukses memperjuangkan guru mendapatkan tunjangan sertifikasi. Animo masyarakat menjadi guru makin tak terbendung. Mereka mengincar gaji dan tunjangan profesi satu kali gaji pokok. Belum plus insentif di tiap daerah. Hanya sebagian kecil menggeluti guru dari panggilan jiwanya. Nah produk guru yang berorientasi ekonomis ini juga menjadi PR bagi PGRI untuk menjadi guru profesional.
Hal ini dibuktikan hasil Uji Kompetensi Guru di Bali hanya 57 persen, sisanya sejujurnya kita akui tak pas menjadi guru. Angka ini sudah termasuk paling baik kedua nasional. Lalu di daerah lain bagaimana?
Jangan salahkan pemerintah ketika guru sudah sejahtera dan bermartabat kini pemerintah ingin menagih kualitas guru. Jangan salahkan juga sistem yang membuat calon tes CPNS dari guru banyak yang gagal karena memang tidak memenuhi syarat kompetensi dasar menjadi guru. Untuk itu, PGRI harus berbuat tak hanya mengampanyekan kesejahteraan guru dan anggotanya namun menuntut guru profesional.
Jika kita jujur, tentu pekerjaan itu tak boleh hanya dibebankan kepada PGRI. Menjadi tugas pemkab, provinsi, dan pusat melatih guru agar tetap profesional, baik lewat pelatihan maupun workshop lainnya. Hal ini pas kita ingatkan menjelang HUT ke-73 PGRI dan Hari Guru Nasional 2018.
Apalagi PGRI sebagai organisasi guru itu sedang menjadi sorotan beberapa guru honorer tanah air. Di beberapa artikel, banyak menyoal tentang apa yang sudah diperbuat PGRI kepada guru honorer. Ini problema nasional bukan saja di Bali.
Di Bali, nasib PGRI termasuk kurang diperhatikan pemerintah. Jika di provinsi lain PGRI mendapat anggaran khusus di APBD termasuk disiapkan kantor sekretariat bersama. Kantor Sekretariat PGRI Bali saja tak ada kecuali mendompleng di sekolah, apalagi dukungan anggaran untuk membuat program guru profesional. Makanya ketika harus mengikuti acara PGRI di luar daerah pengurus PGRI harus mengeluarkan dana dari kantong pribadi. Itulah kondisi PGRI kita di Bali.