Oleh I Gde Parimartha
Belakangan ini, semakin ramai wacana mengenai pungutan liar (pungli), sampai-sampai terjadi OTT di objek wisata Pura Tirta Empul, Bendesa Pakraman Manukaya Let dijadikan tersangka (Bali Post, 13/11, 2018). Kenapa hal itu sampai terjadi, perlu dilakukan penelusuran lebih jauh.
Barangkali masih terdapat perbedaan pandang dalam menetapkan ketentuan di desa. Misalnya perbedaan antara desa adat dan desa dinas. Pungutan itu sepertinya menjadi rebutan antara kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat. Itu juga wajar, karena ada guna, manfaat di dalamnya. Tulisan ini berharap dapat menjadi bagian untuk memahami adanya pro-kontra perihal pungutan di desa pakraman.
Mungkin dapat digambarkan sebagai berikut. Pendekatannya, dari sudut sosial historis. Bahwa sejak dahulu masyarakat di Bali menganut sistem ganda dalam pemerintahan desa (desa adat dan desa dinas). Pada masa kerajaan, pemerintahan raja telah menerapkan sistem itu. Di akar rumput, masyarakat desa menerapkan sistem tradisional (kuno) yang umumnya dikenal sebagai karaman, prabumian, wewengkon, atau desa.
Di atas itu muncul kekuasaan yang lebih tinggi disebut raja (kerajaan). Pada zaman Kerajaan Gelgel keadaan itu sangat kentara. Maka untuk melakukan pengawasan yang lebih intensif, raja menempatkan seorang wakilnya di desa, yang dikenal sebagai pembekel atau perbekel.
Perbekel bertugas sebagai wakil raja, melakukan pengawasan terhadap keadaan yang berada di desa.
Paling tidak seorang pembekel/perbekel akan bertindak demi keamanan kekuasaan raja (ingat pada masa itu, masih ada penduduk desa yang tidak tunduk, atau melakukan perlawanan terhadap kekuasaan raja). Seorang perbekel dapat mengawasai satu atau lebih desa, sesuai keadaan.
Pembekel atau raja, tidak mencampuri urusan intern pemerintahan desa, yang penting aman. Tetapi dalam keadaan tertentu, untuk keamanan di desa, kekuasaan supradesa (raja) dapat melakukan pemanggilan kepada pemimpin atau penduduk desa yang dipandang melanggar. Inilah dapat dilihat sebagai bibit, benih-benih adanya sistem desa ganda di Bali.
Dalam keadaan seperti itu, tokoh pejabat Belanda, peneliti, F.A. Liefrinck, melakukan penelitian terhadap desa-desa di Bali (1886-1887), menyebut bahwa desa Bali yang sesungguhnya adalah sebuah republik kecil, memiliki hukum, aturan sendiri, sifat otonom. Desa itu merdeka dari kekuasaan atas, menjalankan pemerintahan sendiri. Apa makna dari pernyataan, temuan Liefrinck tersebut? Tampak tersembunyi di bawah ketiak strategi kolonial, yang mulai gerah dengan kekuataan raja-raja yang menentang kekuasaan Belanda pada masa itu.
Kemudian, di bagian awal abad ke-20, ketika kekuasaan pemerintah Belanda kuat di Bali, juga di luar Bali, untuk pengekalan kekuasaannya, pemerintah kolonial di Batavia membuat keputusan untuk merombak seluruh sistem pemerintahan desa menjadi satu sistem menyeluruh di Hindia Belanda, ingin dijadikan satu sistem kelurahan, seragam di kepulauan.
Apabila pemerintah Belanda berhasil membangun bentuk seragam di luar Bali, merombak desa-desa adat menjadi sistem kelurahan (kecuali salah satunya di Minangkabau yang bersistem Nagari), di Bali terjadi pergolakan, muncul pro-kontra untuk perubahan itu. Seorang tokoh Belanda yang membela desa Bali pada waktu itu adalah peneliti desa-desa Bali, V.E. Korn, tidak ingin wujud desa adat di Bali dirombak seperti desa-desa lainnya di Indonesia, karena desa adat merawat nilai-nilai arif.
Pergolakan alot memang terjadi antara Korn dan Gubernur Jendral Belanda di Batavia. Akhirnya diambil keputusan – terjadi pengecualian – bahwa sistem desa adat, tradisi di Bali dibiarkan hidup, seperti yang sudah berjalan.
Namun bersamaan itu, sebagai wadah pemerintah menyamakan konsep dalam menata penduduk sampai ke desa, pemerintah kolonial membuat sistem desa dinas, dengan kedua sistem diharapkan dapat berjalan seiring saling mendukung, tidak saling menistakan. Apa pun motif di balik rencana pembangunan dalam konteks koloial seperti itu, patut dapat dimaknai sebagai satu upaya pelestarian sistem desa adat yang kuat mengemban budaya, nilai-nilai kearifan manusia Bali ke depan.
Sementara itu, sistem desa dinas yang dibangun dengan konsep kependudukan, kewilayahan yang seragam dan jelas batas-batasnya, berjalan di bawah pengawasan perundang-undangan dari pusat pemerintahan kolonial. Itu awal dari gerak pembangunan dengan bentuk sistem ganda dalam pemerintahan desa di Bali. Kepala adat, tetua desa adat tidak diganggu dalam menjalankan tugas tradisinya (agama, suka duka), sementara kepala desa dinas (perbekel) dapat menjalankan tugas dengan baik di bawah tuntunan pemerintah pusat. Sejak masa kolonial, seorang kepala desa dinas (perbekel) diberi gaji berupa uang (gulden) setiap bulannya. Tidak ada konflik antara desa adat dan dinas, karena masing-masing memiliki ranah, tupoksinya sendiri.
Pada zaman kemerdekaan, pemerintah daerah di Bali tetap menjalankan sistem ganda pemerintahan desa. Sampai masa Orde Baru, sistem desa itu tampak berjalan aman-aman saja, seiring, sejalan satu sama lain. Baru pada akhir Orde Baru, ada gejolak, keluarnya Undang-undang Desa No.5 Tahun 1959, sistem Orde Baru disalahartikan, membuat seragam pemerintahan desa (dalam arti adat).
Muncul wacana bahwa pemerintahan desa diseragamkan, bergaung sampai di luar Bali. Pada nalar penulis, ya, pemerintah Orde Baru dengan undang-undang desa itu membuat seragam pemerintahan desa, desa dalam arti dinas (formal) di bawah struktur pemerintah pusat.
Apa yang salah? Tidak ada yang salah, apabila pemerintah pusat ingin menata sistem desa sebagai desa nasional dalam satu sistem yang utuh. Berbeda dengan desa adat yang beragam, berbeda sitemnya di setiap daerah, disebut, desa mawacara.
Maka demi tetap ajegnya sistem desa adat, Pemerintah Daerah Bali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No.6 Tahun 1986 yang menempatkan desa adat berdampingan dengan desa dinas dalam pembangunan desa. Makna yang terbetik dari model ini, bahwa keduanya merupakan model sinergis yang saling memperkuat (dualitas), bagaikan hubungan antara suami dan istri. Itu bentuk nilai kearifan lokal Bali, dapat dilihat sebagai bentuk kekhususan Bali mengenai sistem desa.
Keluarnya Perda No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, dan perubahannya menjadi Perda No.3 Tahun 2003, tidak memberikan solusi yang jelas mengenai hubungan antara desa adat dan desa dinas. Keluarnya Undang-undang Desa No.6 Tahun 2014, membawa wacana pro-kontra karena terdapat pilihan antara desa adat dan dinas, dan muncul pungli, bisa terjadi karena hubungan yang tidak harmoni.
Di sanalah letak masalahnya, perlu dikelarkan mengenai hubungan, fungsi, sinergi antara desa adat dan dinas. Keluar dari wilayah desa, sebaiknya satu suara antara adat dan dinas. Dengan duduk bersama masalahnya dapat dipecahkan.
Penulis, Guru besar Universitas Udayana
Artikel ini menarik terkait hubungan desa adat dan dinas dari masa pra kolonial, kolonial dan masa sekarang. Namun ada sedikit yg membuat pembaca bingung, yakni UU Desa No 5 th 1959 adalah produk Orla (Orde Lama) dan mungkin disalahartikan oleh pemerintah Orba (Orde Baru). Selama kurun waktu berpuluh bahkan ratusan tahun tersebut berjalan aman-aman saja, karena masing-masing tokoh memegang tupoksinya masing-masing. Barulah sekarang, ketika ada potensi ekonomi (perputaran duit) disana, mualailah ada gesekan diantara para tokoh yg ingin menguasai potensi tsb karena masing2 merasa berhak melakukan pungutan. Inti sarinya adalah: rebutan duit. Karenanya, rela berbuat apa saja.