Oleh Romi Sudhita
Seorang teman yang sudah berpisah cukup lama, datang membawa pertanyaan. “Ada enggak guru yang berkarakter profesional?” Penulis jawab, “Pertanyaan ini didapat dari mana?” Ada siih… sahutnya sembari menyodorkan kliping koran Bali Post, “ini lho…!” Benar, yang disodorkan teman tadi memang ada dalam kliping koran BP edisi 19 November 2016, merujuk pada tema Seminar “Membangun Guru yang Sejahtera Berkarakter dan Profesional.”
Sebagai tanda respons positif yang penulis tunjukkan, penulis pun menganggukkan kepala sebanyak tiga kali. Dalam hati kecil penulis, tema yang diangkat ke dalam seminar itu sih enggak salah, cuma kalau bisa, struktur kalimatnya perlu diubah menjadi “Profesional dan Berkarakter” (profesional lebih dahulu baru kemudian disusul dengan berkarakter).
Kok? Yang namanya predikat guru, belakangan ini cukup beragam, seperti; Guru dapat digugu dan ditiru, Guru sahabat anak, Guru pahlawan tanpa tanda jasa, hingga ke predikat yang rada latah yakni “Guru yang profesional.”
Dalam kajian selanjutnya akan lebih banyak disorot tentang sosok seorang guru yang benar-benar profesional pada zamannya, dan bukan hanya sebutan manis di bibir. Sejatinya guru siapa pun dia, amat berat menyandang predikat “profesional” lantaran kriteria ke arah itu cukup sulit bisa dipenuhi oleh mereka (para guru). Dan, satu lagi, istilah guru yang dimaksudkan di sini adalah guru pengajian atau guru formal yang mengajar dan bekerja di sekolah, baik berstatus negeri, swasta, maupun status kontrak.
Jadi guru rupaka (orangtua), guru wisesa, begitu pula guru swadiaya, tidak terekam dalam tulisan ini. Kalau memang predikat guru profesional amat sulit diraih dan diemban oleh para guru, lalu apa pula kriteria guru profesional itu?
Berdasar pada hasil dari mendengar, melihat, dan juga merasakan, maka guru profesional itu harus memenuhi persyaratan; jebolan program strata satu (S-1) dan/atau diploma empat (D-4), mengenal dan memahami empat kompetensi guru, sudah berstatus tersertifikasi, dan yang agak berat menjadi tuntutan kita semua bahwa guru itu harus mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasioanal.
Dengan adanya wisuda secara bertubi-tubi yang informasinya dapat dibaca dan didengar di media massa, sepertinya guru-guru, terutama yang berdinas di Bali, semuanya sudah menyandang predikat berkualifikasi pendidikan dan lulusan S-1. Apa benar demikian? Jawabannya jelas tidak, karena hingga kini masih cukup banyak dari mereka yang belum berijazah dan bergelar Sarjana Pendidikan alias S.Pd.
Bagi guru honorer, status kontrak, dan guru-guru PNS yang lulusan terbaru jelas sudah mengantongi ijazah S-1 dan/atau D-4 karena mereka yang melamar menjadi guru sudah dihadang oleh persyaratan tersebut. Namun bagi mereka yang sudah telanjur kecemplung jadi guru di sekolah, dan ketika baru masuk belum S-1, akhirnya hingga kini mereka masih berstatus belum S-1.
Memang guru seperti itu jumlahnya tidak begitu banyak, dan ada pula yang sekarang ini masih mengikuti program penyetaraan guna meraih predikat sarjana S-1. Mereka yang menyandang status seperti ini banyak dijumpai di Prodi PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja karena mereka diwajibkan oleh atasannya untuk kuliah guna meraih gelar S.Pd.
Sebagaimana diakui Ketua STAH Negeri Mpu Kuturan Prof. Dr. I Made Suweta, M.Si., baru-baru ini. Kalau mereka belum ber-S1, apakah mereka itu belum boleh dikatakan guru profesional? Ya, secara formal jelas belum, tapi dengan menggunakan bahasa Harmoko (Menteri Penerangan di era Orde Baru) yang rada humanis, mereka itu belum dan sedang menuju ke S-1.
Kompetensi Guru
Persyaratan yang kedua adalah dimilikinya kompetensi (kemampuan disertai tanggung jawab) tatkala berdiri di depan kelas dan juga di luar kelas begitu juga di luar sekolah. Apa saja kompetensi guru itu? Mengacu pada referensi yang ada, maka kompetensi guru ada empat. Pertama, yang paling penting adalah kompetensi Kepribadian. Itu artinya, setiap guru dalam tingkah-polahnya harus mencerminkan kepribadian yang patut diteladani. Sebutan klasik guru yang berbunyi “guru patut digugu dan ditiru” sampai sekarang masih tetap diamini sebagai wujud guru yang berkepribadian sebagaimana yang diidealkan.
Kedua, kompetensi Pedagogik, yaitu semacam kemampuan guru manakala menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik dapat dilakukannya dengan cara-cara yang baik, efektif sarat efisiensi. Singkat kata, guru harus piawai memudahkan siswa itu belajar, menggampangkan yang sulit dan bukan sebaliknya mempersulit yang sejatinya gampang dilakukan.
Ketiga, kompetensi Profesional. Setiap guru harus menguasai bahan atau materi pelajaran yang hendak “ditularkan” kepada siswa. Contoh, guru Matematika di SMA harus paham dan menguasai benar tentang materi Matematika tersebut. Guru SD yang terbilang guru kelas SD harus mahir terhadap semua mata pelajaran yang belakangan ini banyak dikemas lewat pembelajaran tematik atau berdasarkan tema-tema tertentu.
Keempat, kompetensi Sosial, yaitu mempersyaratkan kepada semua guru agar terampil berkomunikasi. Tidak saja kepada siswa, kepada sesama guru dan pimpinan sekolah, tetapi juga pintar dan jago berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait, katakanlah dengan ketua UPP/UPT (Unit Pelaksana Pendidikan/Unit Pelaksana Teknis Pendidikan) Kecamatan, Kepala Dinas Pendidikan kabupaten dan juga provinsi, serta yang tak kalah penting berkomunikasi dengan orangtua siswa di rumah. Puik atau tidak saling menyapa dengan teman-teman (kolega), itu tidak diharapkan sama sekali.
Bersertifikat Pendidik
Persyaratan guru profesional yang ketiga adalah bisa membuktikan bahwa dirinya telah mengantongi sertifikat pendidik. Walau sesungguhnya ‘’sertifikat pendidik’’ ini dimaksudkan sebagai ‘’SIM’’ tentang kewenangan seorang guru mengajar, tapi sejak program ini dikenalkan kepada guru, banyak guru yang mengartikan secara parsial bahwa hal itu semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan guru berupa pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang besarannya satu kali gaji pokok.
Tetapi guru yang benar-benar mengerti tentang hakikat sertifikasi guru, jelas akan memanfaatkan TPG tersebut untuk menunjang kelancaran tugasnya sebagai pembelajar sekaligus sebagai pebelajar. Misalnya dengan membeli buku-buku, membeli laptop agar tidak dijuluki guru yang gaptek (gagap teknologi), dan mengidap penyakit TBC alias ‘’Tidak Bisa Computer’’.
Persyaratan yang rada berat adalah yang terakhir, yakni setiap guru harus mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional (diknas). Apa tujuan diknas itu? Jangan-jangan mereka yang sudah tersertifikasi tidak bisa menjawab secara penuh. Kalau memang ada yang tidak tahu atau tidak hafal, itu wajar, karena rumusan tujuan diknas tersebut amat panjang. Mari kita lihat, “Diknas bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).
Sederetan kata yang ada pada tujuan pendidikan nasional ini tentu tidak bisa atau sulit dicapai hanya dalam sekejap. Jika ada anak sekolah yang ikut demo anarkhis, dapat dipastikan guru si anak itu belum mampu mewujudkan tujuan diknas. Kalau pada awal tulisan ini disinggung mengenai guru yang berkarater, sejatinya sudah inklud dengan tujuan diknas ini, karena mutiara pendidikan karakter diambil dari tujuan diknas.
Guru dapat dipastikan hidup pada zamannya. Katakanlah hidup pada rezim Orde Lama, era Orde Baru maupun era kekinian yang disebut era Reformasi. Sepanjang pengalaman penulis, abdi negara yang disebut guru profesional itu pernah terseret oleh zaman yaitu ketika zaman Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto. Guru-guru bagaikan tidak bisa berkutik, tidak ada pilihan lain kecuali bergabung, menjadi bagian dari rezim.
Dan setiap ada hajatan lima tahunan (pemilu) guru-guru secara bergerombol memasuki arena kampanye guna ikut menyukseskan arahan atasan serta bertekad untuk menyukseskan kemenangan. Oleh karenanya mereka senantiasa terseret arus untuk memilih dan menggolkan golongan tertentu, yakni Golkar. Di era kekinian, guru tidak dibenarkan untuk berpolitik praktis dengan memasuki partai ini dan atau partai itu.
Syukur seribu syukur, di zaman reformasi ini kondisi seperti di era Orde Baru tidak terlihat lagi. Guru bebas menjatuhkan pilihannya manakala hajatan lima tahunan tiba. Zaman sudah berubah, hembusan angin pun tak lagi bertiup kencang untuk memaksakan diri memilih yang terkadang bertentangan dengan hati nuraninya masing-masing.
Guru kini tak lagi terseret zaman. Kendati demikian, pernak-pernik Orde Baru masih saja ada terlihat di beberapa daerah kabupaten/kota di Bali, seperti ada guru yang tiba-tiba dipindah ke daerah sulit, padahal guru yang bersangkutan termasuk guru yang rajin dan berprestasi. Konon yang bersangkutan menjadi kortik (korban politik). Ke depan mudah-mudahan bersih, tidak ada lagi praktek kotor seperti itu.
Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku