JAKARTA, BALIPOST.com – Masalah perampasan hak atas tanah di Indonesia makin marak. Bahkan, praktik mafia tanah berani menunjukan taringnya meskipun menabrak aturan. Persoalan tersebut mengemuka dalam Komite I DPD RI dengan Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) di ruang Rapat Komite I, Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Jakarta. Senin (26/11).
Rapat membahas masalah konflik perampasan lahan dan mencari solusi dari persoalan ini. “Lemahnya penegakan dan sistem pencegahan dari pemerintah terhadap sistem permasalahan tanah ini mengakibatkan praktik mafia tanah semakin berani,” sebut Wakil Ketua Komite I Fahira Idris saat memimpin pertemuan.
Untuk mencari solusi dan mengatasi persoalan ini, Fahira mengatakan pihaknya akan memulai dengan pengumpulan barang bukti, setelh melakukan kajian hingga mengeluarkan rekomendasi kepada lembaga berwenang untuk menuntaskan. “Saya minta FKMTI mengumpulkan semua bukti perampasan hak atas tanah, dibukukan, nanti kami akan bentuk tim analisis, dan setelah kami analisis akan kami lanjutkan dengan memanggil Kementerian Agraria, Kepolisian dan stakeholder terkait untuk mencari solusi bagi korban,” tegas Fahira.
Ketua FKMTI Supardi K. Budiardjo mengutarakan bahwa perampasan tanah ini sangat berbahaya, mereka mengambil tanpa lewat transaksi jual beli. Banyak Korban yang memiliki Surat Hak Milik tanahpun bisa kalah di pengadilan dan hilang kepemilikannya. “Mafia tanah menggunakan surat-surat yang tidak sesuai untuk merampas hak tanah lewat pengadilan. Orang mempunyai SHM yang sah dan mempunyai kekuatan hukum tetapi oleh oknum di gugat hanya dengan alas hak girik dan bukan sesuai dengan tanah itu dan anehnya dimenangkan oleh peradilan bahkan oleh BPN SHM itu dibatalkan, ini sungguh luarbiasa aneh,” ucap Supardi.
Salah satu contoh kasus, menurut Supardi adalah salah satu korban pada tahun 2006 membeli tanah di daerah Tangerang, Banten yang lahannya sudah bersertifikat hak milik, bahkan sudah dicek lewat BPN. Pada tahun 2007 sudah di balik nama, bahkan sertifikat tanah tersebut sudah diagunkan ke bank.
Lahan yang sudah ber-SHM itu ternyata bisa dirampas oleh sertifikat ganda oleh perusahaan pengembangan perumahan berskala besar hanya dengan berbekal Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Kasusnya kemudian berlanjut ke pengadilan tetapi pihak yang dirampas tanahnya tersebut justru dikalahkan di pengadilan oleh pengembang besar yang berbekal SHGB dengan obyek lahan yang sama itu.
Yang membuat miris, pemilik tanah bersertifikat yang dikalahkan itu masih dibebankan membayar pajak atas tanah yang sudah dirampas itu. Kasus inipun pernah diadukan ke Ombudsman dengan isi laporan tentang adanya maladministasi yang dilakukan oleh oknum pengembang dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, meski sudah 10 tahun diperjuangkan, hasilnya masih nihil.
Dari persoalan tersebut, Supardi meminta penyelesaian terhadap kasus-kasus perampasan atas tanah yang terjadi, ke depan harus dilakukan dengan membentuk suatu lembaga Ad Hoc untuk menyelesaikan permasalahan perampasan hak atas tanah ini. Dengan demikian, ketika ada seorang yang dirampas tanahnya maka memiliki wadah yang dinaungi oleh lembaga resmi yang dibentuk pemerintah sehingga ketika harus berpekara di pengadilan agraria memiliki dukungan kuat, serta bisa diselesaikan secara adil sehingga memiliki kepastian hukum. (Hardianto/balipost)