Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang di dalamnya termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN/Pegawai Negeri Sipil-PNS) boleh dikatakan begitu identik dengan birokrasi. Sementara berbicara masalah birokrasi di Indonesia, identik dengan pelayanan yang berbelit-belit. Sampai-sampai, ada istilah “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah’’. Birokrasi seperti ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai ada anggapan negatif itu sudah menjadi budaya kalangan di birokrasi.
Sejalan dengan era reformasi, didengung-dengungkan pula reformasi birokrasi di tanah air. Reformasi birokrasi untuk mengubah mental “dilayani” yang telanjur melekat di kalangan birokrat menjadi budaya “melayani”.
Ini sejalan dengan pasal 10 UU ASN yang menyebutkan, pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Kasarnya masyarakat menyatakan, mereka digaji dari uang rakyat untuk memberikan pelayanan maksimal dan profesional kepada masyarakat (pembayar gaji).
Berkaca dari penilaian masyarakat selama ini tersebut, peringatan HUT ke-47 Korpri tanggal 29 November ini harus benar-benar menjadi momentum reformasi birokrasi yang sesungguhnya, bukan sekadar wacana. Hari Korpri ini hendaknya tidak hanya menjadi refleksi untuk menjaga solidaritas dan soliditas, tetapi benar-benar mampu mengubah stigma masyarakat yang berkembang selama ini. Korpri benar-benar abdi negara, abdi masyarakat yang mampu memberikan layanan maksimal dan profesional kepada publik.
Beberapa pemimpin baik di pusat maupun daerah, telah melaksanakan reformasi birokrasi dengan mengubah pola pikir mereka maupun yang menjadi bawahan/aparaturnya. Langkah-langkah strategis maupun berbagai kebijakan telah diambil sebagai tindak lanjut dan wujud reformasi birokrasi ini. Tentunya hal ini harus diikuti dan sampai ke aparatur terbawah, bahwa Korpri itu sebagai abdi dan pelayan masyarakat. Bahwa mereka digaji dari uang rakyat, maka wajib hukumnya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Reformasi birokrasi yang telah dilakukan ASN maupun Korpri, tidaklah akan berhasil jika masyarakat sendiri tidak melakukan reformasi mental. Masyarakat haruslah mengikuti dan menaati segala aturan yang telah dibuat birokrat dengan tujuan menertibkan sekaligus memperlancar dan memudahkan birokrasi. Masyarakat tidak boleh lagi melakukan praktik kolusi dan nepotisme, menyuap jajaran Korpri dalam berurusan dengan birokrasi. Karena masyarakat yang tertib merupakan modal awal dari reformasi birokrasi itu sendiri.
Tidak lama lagi, rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi pemilihan umum legislatif (pileg) maupun eksekutif (pemilihan presiden dan wakil presiden/pilpres). Tiap kali ada hajatan politik ini, jajaran Korpri utamanya ASN/PNS selalu menjadi sorotan.
Mungkin karena solidaritas dan soliditas Korpri sehingga menjadi “sasaran empuk” untuk digerakkan mendulang kemenangan. Dalam kaitan ini, hampir tiap kali ada pesta demokrasi, pemilu pula ASN selalu wanti-wanti menjaga netralitasnya.
Ini sudah tentu kembali pada ASN dan jajaran Korpri sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Jika jajaran Korpri dan ASN tidak mampu menjaga netralitasnya, tentu sangat berpengaruh pada pelayanan pada masyarakat. Momentum Hari Korpri ini sekaligus mengingatkan hal itu, jajaran Korpri dan ASN harus netral memberikan pelayanan yang profesional dan maksimal kepada masyarakat.