Pelamar melihat pengumuman seleksi administrasi CPNS di Tabanan, Senin (22/10). (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Dunia pendidikan menghadapi tantangan serius. Bunyi headline Bali Post (24/11) mengisyaratkan ada yang salah dalam tata kelola dunia pendidikan kita. Kondisi ini tercermin dari hasil tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2018, melalui seleksi tahap awal dalam proses Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).

Ternyata CPNS 2018 yang lolos passing grade SKD hanya memenuhi sekitar 30 persen kebutuhan di seluruh formasi jabatan yang ditawarkan. Niat pemerintah untuk memperoleh CPNS yang berkualitas nampaknya tidak sejalan dengan kualitas peserta seleksi CPNS.

Pola seleksi dengan sistem passing grade dalam seleksi CPNS kali ini sebenarnya merupakan upaya positif pemerintah untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas guna pelayanan publik yang lebih baik nantinya. Karena selama ini pola seleksi CPNS lebih sering digunakan sistem peringkat, sehingga kualitas hasil seleksinya tidak memiliki passing grade tertentu.

Melalui seleksi CPNS 2018, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir bermaksud merekrut dosen yang berkualitas. Hal ini ditujukan agar dunia pendidikan tinggi memiliki sumber daya manusia dengan kualifikasi tertentu, sehingga dapat semakin meningkatkan kualitas alumni pendidikan tingginya. Namun, Menristekdikti pantas kecewa karena ternyata kualitas peserta seleksi CPNS 2018 justru belum dapat melewati passing grade yang sudah ditentukan.

Kenyataan akan minimnya peserta seleksi CPNS 2018 (notabene minimal berkualifikasi sarjana setingkat Strata 1) lolos melewati passing grade yang telah ditetapkan, secara tidak langsung menggambarkan kualitas lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Adanya angka passing grade yang ditetapkan sebagai batas lolos seleksi, tentu dimaksudkan agar CPNS terpilih adalah manusia yang berkualitas sesuai kualifikasi formasi jabatan yang diperlukan.

Baca juga:  Mengelola Air Hujan Selamatkan Alam

Ironisnya, angka 30 persen dari kebutuhan di seluruh formasi jabatan adalah yang lolos dalam proses tahap SKD. Setelah tahap itu masih ada proses tahap Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Bisa dibayangkan berapa persen nantinya kuota formasi jabatan yang dapat dipenuhi melalui tahap SKB.

Sehingga pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN RB) Syafruddin akhirnya menerbitkan peraturan baru, karena khawatir pengisian formasi jabatan CPNS tidak terpenuhi akibat banyaknya peserta yang tidak lolos passing grade SKD. Peraturan Men-PAN RB Nomor 61 Tahun 2018 yang baru itu menetapkan akan mengambil peserta yang memiliki peringkat terbaik dari angka kumulatif SKD untuk diloloskan mengikuti tahapan tes SKB.

Marwah Pendidikan

Pendidikan pada prinsipnya adalah upaya mencerdaskan peserta didik agar memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Peserta didik sudah seharusnya menerima secara lengkap dan seimbang ketiga unsur materi pendidikan.

Pendidikan kognitif untuk melatih kemampuan otaknya, afektif untuk mengasah ketajaman nilai/emosi dan perilaku, serta pendidikan psikomotorik untuk melatih keterampilan peserta didik. Tanpa keseimbangan di antara ketiga unsur tersebut, peserta didik sering gagal menghadapi tantangan yang ada.

Jenjang pendidikan dasar seyogianya memberi peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dan bakat yang dimiliknya sesuai passion masing-masing. Sehingga pada jenjang pendidikan menengah mereka sudah bisa mulai menentukan arah profesi yang akan ditekuninya nanti. Sementara pada pendidikan tinggi peserta didik tinggal memperdalam ilmu dan mengasah kemampuan sesuai passion yang telah dipilihnya di program studi yang ada.

Baca juga:  Nusa Penida Masih Kekurangan Banyak Guru

Dunia pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya sudah mengantisipasi hal tersebut dengan adanya jalur pendidikan akademik dan jalur profesional/vokasi. Hanya, pada saat berada di jenjang pendidikan menengah, peserta didik kebanyakan belum bisa menentukan pilihan profesi yang ditujunya.

Sehingga acapkali terjadi mahasiswa yang merasa salah memilih program studi setelah menjalani perkuliahan. Akibatnya, mereka sekadar menjalani sampai dengan lulus kuliah, tanpa penguasaan materi yang cukup karena tidak sesuai passion-nya.

Marwah pendidikan harus dikembalikan sesuai masing-masing jenjangnya, sehingga pendidikan tinggi sebagai ujung akhir dunia pendidikan dapat menghasilkan sumber daya manusia berkualitas sesuai kebutuhan yang diperlukan. Marwah pendidikan Indonesia harus dijaga dengan tindakan konsisten melalui langkah yang komprehensif, berkelanjutan, dan berkesinambungan, oleh para pemangku pendidikan.

Pertama, program studi pendidikan tinggi harus dapat melintasi waktu. Program studi yang ada seharusnya adalah untuk menjawab tantangan pada puluhan tahun ke depan. Sehingga program studi beserta kurikulumnya harus bersifat dinamis mengikuti perkembangan kebutuhan yang ada. Agar lulusannya nanti menjadi manusia yang tangguh dan siap menjawab tantangan zaman yang ada pada saatnya nanti.

Kedua, memberi peluang pengembangan kemampuan dan bakat sesuai passion masing-masing peserta didik. Pendidikan harus mampu menggali dan mengembangkan jati diri setiap peserta didik, sehingga setiap peserta didik dapat berprestasi secara maksimal karena semua yang dijalaninya sesuai dengan passion yang ada pada diri masing-masing. Dengan cara ini, niscaya akan diperoleh sumber daya manusia berkualitas.

Baca juga:  Kerja Sama Guru dan Orangtua

Ketiga, proses pendidikan harus mengutamakan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya, bukan kuantitasnya. Passing grade harus menjadi acuan dalam melakukan pengukuran kemampuan sumber daya manusia, bukan menggunakan sistem peringkat yang sering menghasilkan kualitas yang semu. Sebagaimana adanya passing grade dalam menentukan kelulusan Ujian Nasional adalah suatu hal yang positif, karena akan memacu prestasi dari waktu ke waktu.

Olimpiade pendidikan (matematika, IPA, dll) juga menggunakan sistem passing grade. Semua peserta bisa mendapat medali emas atau justru sebaliknya tidak satu pun mendapat medali emas, karena tidak ada peserta yang mampu melampaui passing grade yang ada.

Mengembalikan marwah pendidikan di Indonesia menjadi tugas bersama para pemangku kepentingan pendidikan. Tantangan persaingan global pada masa depan akan semakin ketat. Jika tidak dari sekarang kita berbenah diri untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada, niscaya kita akan menjadi bangsa yang tertinggal.

Pola ketenagakerjaan kita juga harus mengikuti yang ada di banyak negara lain. Pekerjaan berkualitas harus untuk anak bangsa sendiri, sementara pekerjaan kasar dan berbahaya biarlah dikerjakan tenaga kerja asing. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang berlangsung saat ini di Indonesia.

Penulis adalah Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *