Anggota DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana (kiri). (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sesuai amanat Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, 0-12 mil wilayah laut merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Oleh karena itu, penting bagi Pemprov Bali untuk mulai berpikir apa yang bisa dilakukan.

Tentunya, kata Anggota Komisi II DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana, Rabu (28/11), dalam upaya meningkatkan pendapatan berdasarkan kewenangan tersebut. “Investasi terkait kelautan adalah investasi padat modal yang memerlukan keseriusan apabila tidak ingin terjadi kegagalan,” ujarnya.

Adhi Ardhana mencontohkan, banyak pelabuhan ikan yang gagal di sekeliling Bali dan malah akan dihibahkan ke Pemprov Bali. Padahal, pelabuhan-pelabuhan itu difasilitasi dana dari APBN.

Di sisi lain, investasi terkait industri perhubungan laut dikatakan strategis. Utamanya terkait pelabuhan distribusi kebutuhan masyarakat dan industri di Bali (peti kemas, red) dan pelabuhan wisata. “Satu lagi yang juga perlu dipikirkan adalah fasilitas gas apung yang nantinya Bali bisa menjadi hub distribusi gas,” imbuh Politisi PDIP asal Kota Denpasar ini.

Baca juga:  Soal Terminal Ubung, Begini Jawaban Kemenhub

Menurut Adhi Ardhana, seluruh upaya pengembangan wilayah laut 0-12 mil tersebut memerlukan rekomendasi gubernur atas konsultasi dengan DPRD Bali. Setelah itu, barulah dapat menjadi suatu kawasan yang akan dikembangkan.

Seperti halnya pelabuhan Benoa yang mendapat rekomendasi gubernur pada 1990, serta surat kesepakatan bersama 2 menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan) untuk pemanfaatan kawasan Benoa. “Pengembangan saat ini yang merubah pola lingkungan perairan menjadi daratan saat inipun semestinya dilakukan berdasar surat rekomendasi gubernur yang baru. Jadi disinilah peran pemerintah daerah dalam memperoleh kesempatan bersama berinvestasi ataupun meminta kontribusi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Pansus Ranperda APBD 2019, I Kadek Diana dalam Rapat Paripurna DPRD Bali mengatakan, provinsi dapat melakukan investasi pada Kawasan Strategis Nasional (KSN) di sekitar kawasan Teluk Benoa dan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) seperti Pelabuhan Benoa, Gilimanuk, dan Padangbai. Ini sesuai dengan hasil studi banding yang dilakukan dewan di Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Baca juga:  Pascapenutupan Sehari, Bandara Banyuwangi Beroperasi Normal Kembali

“Sebagai contoh di Pelabuhan Tanjung Perak dan Kepulauan Seribu. Demikian juga di daerah Sanur yang dipergunakan sebagai daerah penyeberangan ke pulau lain, seperti Lombok dan lain-lain,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster mengaku masih akan mendalami kewenangan wilayah laut 0-12 mil. Terlebih dulu akan ada kajian yang dilakukan oleh tim untuk memberdayakan kewenangan itu.

Namun, khusus untuk Teluk Benoa dan kawasan di Benoa secara keseluruhan sudah direncanakan upaya penataan. Mengingat, saat ini ada banyak mangrove yang mati ataupun hampir mati (kering, red), serta masalah sampah dan pembangunan ilegal. “Ada hutan mangrove, kami akan menjadikan kawasan mangrove ini menjadi taman mangrove yang akan ditata. Termasuk Pulau Pudut yang sudah hilang itu, tenggelam, kami akan revitalisasi dengan kawasan mangrove disitu dan akan dilengkapi dengan Pusat Studi Mangrove,” ujarnya.

Baca juga:  Wayan Koster Satu-satunya Gubernur Jadi Pembicara Transforming Transportation 2023 di Washington

Mengenai reklamasi yang dilakukan Pelindo di kawasan Pelabuhan Benoa, Koster kembali menegaskan bahwa di sana tidak boleh dibangun jasa pariwisata. Namun hanya boleh dibangun tempat pengisian avtur untuk Bandara Ngurah Rai, serta balai untuk pusat pameran industri kerajinan rakyat yang dilakukan Pemkot Denpasar. “Di luar itu tidak boleh, harus ditanami mangrove kembali supaya mangrovenya subur di situ karena kita tidak lagi memiliki mangrove di tempat lain. Jadi, satu-satunya kawasan mangrove yang kita punya adalah di kawasan itu,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *