Oleh I Nyoman Tika
Berbohong dan penyebaran berita hoax belakangan ini semakin marak, seiring dengan hajatan menjelang pilpres, sehingga suhu perpolitikan negeri ini semakin meninggi dan entropi (derajat ketidakteraturannya) seakan memuncak mencapai titik optimum. Berbagai aksi manipulasi dapat diduga bahwa benak publik hendak direkayasa agar masuk ke zona kritis, meminjam analisis ilmiah Dr. Shigeo Haruyama, dalam The Miracle of Endomorphin (1995), posisi kritis itu, menyebabkan otak akan mengeluarkan dua jenis hormon, yakni noradrenalin dan adrenalin.
Noradrenalin muncul saat emosi marah, sedangkan dalam kondisi ketakutan, mengeluarkan hormon adrenalin. Dua kondisi itu, membuat tubuh memasuki instabilitas emosi, akibatnya memunculkan tindakan menerabas.
Mental menerabas, merupakan istilah antropolog Koencaraningrat (1980) untuk menggambarkan mental buruk sebagian masyarakat Indonesia, yang melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Kondisi ini juga paralel dengan mengkritik pejabat, sebelum sang pejabat dikasi ruang untuk bekerja.
Artinya, ingin segera menghasilkan segala sesuatu, tanpa usaha keras. Mental ini seakan terus diwariskan tanpa pernah memudar, meskipun kita telah 73 tahun merdeka. Stimulan-stimulan murahan, gampang menyulut emosi masyarakat, sehingga dapat melahirkan demo dan berakhir dengan amuk massa yang merusak.
Hal ini tampak beberapa insan jebolan pendidikan tinggi atau insan yang bekerja di dunia pendidikan juga kerap mengotori dirinya dengan tidak menjaga marwah kesuciannya pada ‘nalar akademik yang ilmiah’ dengan ikut menyebarkan hoax tanpa mengecek kebenaran, dalam bahasa penelitian, tindakan triangulasi data, sebagai prasyarat menjauhkan subjektivitas, tak dilakukan, maka lengkaplah, bahwa dugaan produk pendidikan kita juga sebenarnya adalah produk metode ilmiah yang abal-abal sulit ditampik.
Lalu, ketika terkuak wisuda perguruan tinggi abal-abal beberapa waktu silam, dan peminat pun banyak. Artinya, sungguh miris masih banyak orang yang hanya mencari sesuatu sebatas gelar, dan bukan kompetensi.
Itu menunjukkan bahwa sebagian benak masyarakat ingin mendapatkan sesuatu dengan gampang dengan melangkahi rambu-rambu kepatutan, untuk mendapat ijazah atau sertifikat, tak peduli proses, dan yang penting dapat, walau tidak memiliki kompetensi atas ijazah yang dia terima. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih berada dalam zona “kompleks inferioritas” meminjam kategorisasi Alfred Adler (1870-1937) dalam menyusunan habituasi tingkah laku manusia untuk mencapai kenikmatan adaptasi sosial dan kekuasaan yang bersifat temporary.
Adaptasi sosial dan kekuasaan temporary itu dibangun karena struktur kepribadian seseorang sering terpapar oleh sistem yang dibangun oleh pemimpin publik dan pemangku kebijakan (pemerintah) berdasarkan pada konsep jump to conclusion, terburu-buru tanpa analisis yang matang, sehingga masyarakat tak ada pilihan selain membenarkan adagium “ganti pemerintahan ganti kebijakan”, sehingga masyarakat kerap sebagai kelinci percobaan semata. Akibatnya, masyarakat menderita demam yang akut menuju lethargy budaya.
Sebentuk kelesuan dan kebuntuan dalam membuat kreativitas dan berinovasi untuk bekerja keras, sehingga budaya instan menjadi pilihan. Itu sebabnya kerap terjadi transaksi jual beli ijazah sudah menjadi biasa, tanpa rasa bersalah.
Lethargy budaya kemudian berbiak menghasilkan derivatnya dengan sosok abstrak berkarakter instan dengan libido analogi. Libido ini menyeragam pada semua elemen masyarakat tanpa bisa dibendung.
Di bingkai itu, keterbukaan dan transparansi strategi dalam berbagai kebijakan publik, penentuan tender proyek, penerimaan pegawai, pemilihan pejabat dan juga menteri yang kerap berangkat bukan pada kompetensi namun karena lebih banyak dengan strategi KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Kondisi terakhir hendak direduksi oleh “revolusi mental” oleh pemerintah saat ini.
Revolusi mental itu hendak menghancurkan kerak KKN dalam tungku ke-indonesia-an yang sudah demikian keras dan membatu menjadi fosil budaya, sehingga perlu usaha ekstra keras untuk melarutkannya. Alasannya jelas, agregat KKN bukan saja dihasilkan oleh perguruan tinggi abal-abal, namun tidak sedikit lulusan dari kampus elite di negeri ini, juga kerap menyandang sebagai “koruptor.”
Artinya, sistem pendidikan karakter yang juga abal-abal merasuki mental pendidikan kita tanpa disadari banyak orang. Mental abal-abal yang menyusup itu adalah minimnya kemampuan dalam “pemetaan eksistensi” dalam proses pendidikan. Peran ini harus dapat dimainkan oleh perguruan tinggi dalam setiap aksinya, dan harus mengejawantah dalam kurikulum pendidikannya.
Pemetaan eksistensi adalah sebuah tesis yang dikemukakan oleh Peggy Klaus (2007) dalam The hard Truth about soft Skill, yang mengatakan bahwa sebagai bentuk model transformasi intelek, pemetaan eksistensi tidak pernah tepat sempurna dilaksanakan. Pemetaan eksistensi itu, yang intinya adalah mengevaluasi diri sendiri itu, tidak harus sebatas wacana dan miskin aplikasi, sehingga dalil mengukur diri sendiri jauh lebih baik dan penting daripada mengetahui jenis dan pekerjaan di mana lulusan kita mau bekerja.
Di terminal itulah ijazah bodong tidak hanya bermakna bahwa PT-nya abal-abal namun yang legal pun bisa bodong, bila pemilik ijazah itu tak memahami kompetensi yang tertuang dalam transkrip nilai. Kondisi ini masuk kategori pembangunan mental masyarakat yang serbaragu.
Dalam bingkai itu, rasional erotetik itu adalah model yang digunakan untuk mengkritisi kebijakan pihak otoritas (pemangku kebijakan), selain itu para legislator yang ikut mengesahkan suatu usulan kebijakan. Masyarakat meminta klarifikasi, sehingga publik mengetahui silang sengkarut terhadap topik tertentu, dapat terjelaskan.
Dalam kasus PT abal-abal yang berujung pada jamaknya sangkaan PT sebagai pabrik ijazah bodong (aspal) segera dituntaskan. Peran inisisasi rasional erotik dalam diperankan berbagai media dan berbagai elemen masyarakat pada pemerintahan saat ini, seyogianya diapresiasi sehingga masyarakat tidak dibodohi dan ditipu.
Masyarakat sudah terbiasa oleh pemangku kebijakan untuk mengalihkan isu tertentu, dalam kasus-kasus tertentu, semisal keberadaan ijazah abal-abal itu lenyap tak berbekas, dan mungkin bisa jadi pada kasus penyebaran hoax saat ini bisa jadi akan berakhir dengan pendiaman, sehingga konsep hangat-hangat tahi ayam akan menjadi predikat yang sulit ditampik.
Mengapa demikian? Metode rasionalitas erotik yang jarang diterapkan, dan hanya ada di tataran teori. Sebab, para pemangku kebijakan diisi oleh kelompok intelektual yang dibangun dalam dimensi kebutuhan pribadi, yang mementingkan jabatan-jabatan intelektual dan fungsional, sehingga mendorong ke arah kreativitas intelektual pragmatis.
Namun, dalam merevolusi mental saat ini, nampak pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun tinggi dibenahi. Dan, pembenahan perguruan tinggi menjadi hal yang sangat krusial dan urgen. Ada beberapa langkah untuk itu, yaitu (1) pertama verifikasi tenaga pengajar dari perguruan tinggi abal-abal, kualifikasi akademik. Kedua, verifikasi mahasiswa jumlah mahasiswa dengan melihat data dan, (3) menutup perkuliahan nonregular, (4) perkuliahan yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku, (5) mendukung upaya masyarakat yang merasa dirugikan untuk memidanakan.
Sebab, pihak Dikti terbatas mengawasi dan memberikan sanksi tegas dengan mencabut izin, dan menon-aktifkan izin operasionalnya. Ini beberapa model yang terus dilakukan rasional erotetik. Di koridor penyadaran dan membangun pemahaman masyarakat itulah, kaum intelektual perlu sebagai the stimulus proposition, sebagai agen pendorong dengan dalil-dalil keilmuan seperti yang dipaparkan oleh Homans (1974). Bila dalam kejadian pada masa lalu dorongan tertentu atau sekumpulan dorongan telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka makin serupa dorongan kini dengan dorongan pada masa lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.
Penulis, dosen Pascasarjana Undiksha, Alumnus doktor ITB