DENPASAR, BALIPOST.com – Pengunjung sidang dalam perkara dugaan melawan pejabat negara, dengan terdakwa I Ketut Putra Ismaya Jaya (40), I Ketut Sutama (51) dan IGN Edrajaya alias Gung Wah (28), sempat tepuk tangan. Pengunjung sidang merasa senang manakala saksi yang dihadirkan JPU, Made Budiarta, yang notabene petugas Satpol PP Provinsi Bali yang menurunkan baliho calon DPD RI mengaku tak ada ancaman.
Budiarta hanya mengaku bahwa kakinya sempat merasakan ada sentuhan. Sentuhan inilah yang kemudian menjadi “gorengan” hakim dan jaksa untuk menjawab sentuhan apa yang dimaksud oleh saksi.
JPU Made Lovi dan Bela, di hadapan majelis hakim pimpinan Bambang Ekaputra didampingi IGN Putra Atmaja dan Ketut Kimiarsa sebagai hakim anggota, selain menghadirkan Budiarta, juga menghadirkan 12 saksi lainnya. Dua di antaranya adalah polisi.
Masih dalam persidangan yang penuh sesak itu, Budiarta mengawali kesaksian dengan menyebut melakukan penurunan baliho di kawasan civic center Jalan Cok Agung Tresna, Denpasar, Senin (13/8). Saat hendak menurunkan baliho milik calon DPD RI atas nama I Ketut Putra Ismaya Jaya (Keris), Budiarta yang saat itu bersama delapan orang anggotanya didatangi dua relawan Ismaya.
Mereka adalah terdakwa Sutama dan Gung Wah. Gung Wah menanyakan siapa yang menyuruh menurunkan baliho Keris, oleh saksi dijelaskan atas perintah atasannya. “Saat di penurunan itu saya tawarkan pada dua relawan balihonya mau dibawa pulang atau kekantor, dan dijawab diambil untuk dibawa pulang. Saat itu urusan sudah selesai, saya dan dua relawan ini sudah salaman,” kata saksi dalam sidang.
Setelah sampai di rumah, saksi dihubungi anggotanya, Surojo (saksi) kalau ada Ismaya Cs datang ke kantor. Budiarta pun datang, dan dilihat sudah ada mobil dan Ismaya beserta rekan-rekannya di Kantor Satpol PP.
Kata Budiarta, Ismaya saat itu kembali mengulang pertanyaan yang terkait siapa yang menyuruh menurunkan baliho tersebut. Dengan penjelasan yang sama, Budiarta menerangkan pada Ismaya. Saat itu Budiarta juga sempat menghubungi Kabid Tramtib lewat ponselnya. “Nah saat saya konsentrasi menelepon, seperti ada sentuhan di kaki kanan saya,” ucapnya.
Hakim menanyakan maksud saksi terkait sentuhan itu. “Sentuhan yang seperti apa maksud saudara saksi. Senggolan, sentuhan itu berbeda dengan tendangan. Benar sentuhan? ada kesakitan, ada memar, ada goresan apa tidak?,” tanya hakim. Saksi pun menjawab tidak ada.
JPU Made Lovi Pusnawan lalu membandingkan keterangan saksi dengan isi BAP. Dalam poin delapan di BAP saat di kepolisian, saksi menyebut jika itu tendangan pada betis kanan, bukan sentuhan. Mana yang benar, tendangan atau sentuhan. Karena di keterangan di BAP atau keterangan sekarang?” tanya jaksa.
Jaksa juga membeberkan isi di BAP jika saksi menyebut merasa ketakutan saat ditendang. Menanggapi hal ini, saksi Budiarta cukup berbelit, tak mengingkari isi BAP maupun tak mementahkan kesaksiannya. “Ya jujur saat itu ada memang rasa takut,” akunya.
Pihak terdakwa keberatan mengenai keterangan saksi yang menyebut penurunan baliho atas perintah kabidnya. “Saat kejadian, saksi menyebut yang menyuruh menurunkan baliho adalah dari KPU bukan dari atasan atau dari kabid sebagaimana yang dikatakan hari ini Yang Mulia,”kata terdakwa.
Saksi lainnya Gede Jayadi mengaku merasa ketakutan saat Ismaya Cs mendatangi kantornya. Bahkan dia mengaku mendengar adanya perkataan bernada mengancam yang dikatakan terdakwa Ismaya kepada atasannya, Kabid Trantib, I Dewa Rai Darmadi. Menurutnya, kata-kata yang dia dengar dari terdakwa Ismaya kepada atasannya itu, “Cang bani mati. Ci bani mati.”
Namun keterangan menyangkut kalimat bernada ancaman itu langsung disanggah salah satu kuasa hukum terdakwa, Agus Samijaya. Sebab versi pihak terdakwa, kalimat yang disebutkan Ismaya adalah “Cang nak Bali. Cang Bani mati nindihin gumi Bali,” tegasnya.
Agus kemudian menegaskan bahwa rangkaian kalimat yang didengarkan saksi Jayadi tidak lengkap. Dan itu akhirnya disampaikan Jayadi bahwa dirinya yang jelas mendengar kata “bani mati” yang keluar dari Ismaya terhadap atasannya. (Miasa/balipost)
Intinya. baliho dipasang dg menyalahi ketentuan (sesuai peraturan yg dipegang satpol PP), ketika diturunkan, relawan datang dan minta baliho dibawa untuk ditunjukkan pada bosnya. Bos marah, bersama relawan tadi mendatangi kantor satpol PP sambil mengancam. Ada tindakan mukul atau cuma ancaman dg kata-kata (verbal), sudah jelas salah. Apalagi yg mau dibela dengan bersilat lidah.
dan untuk pengunjung sidang yg saya hormati, jangan menggunakan atribut pakaian adat untuk mendukung hal-hal seperti ini, karena pakaian tsb memiliki makna yang adiluhung untuk kegiatan yang berkaitan dengan adat dan juga keagamaan. Kalau dipakai untuk mendukung ormas yg belum tentu berkaitan dengan adat dan apalagi agama, sepertinya menurunkan nilai luhur pakaian itu sendiri.