JAKARTA, BALIPOST.com – Kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI dinilai mengancam keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah selama ini. Belakangan, diketahui kebijakan yang telah diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tersebut masih berupa draf di meja Presiden Joko Widodo dan belum ditandatangani alias belum mendapat persetujuan.
“Ternyata memang kemarin Presiden menyampaikan kepada kita bahwa draf tersebut belum sampai ke mejanya. Artinya, menteri ini mengumumkan sesuatu yang Presiden belum setuju,” ungkap Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/11).
Atas temuan itu, Bamsoet mengingatkan harus ada keseragaman langkah diantara para menteri dan Presiden. “Semua orang tahu Presiden Jokowi pro UMKM. Tapi kalau kebijakan yang diambil oleh menteri-menterinya ini bertentangan dengan keinginan Presiden,” ujarnya.
Sikap DPR RI sendiri jelas meminta kebijakan tersebut perlu ditinjau kembal atau jika perlu dibatalkan. Hal serupa juga disuarakan KADIN dan HIPMI yang kemudian mendapatkan tanggapan dari Presiden Jokowi dalam Rapimnas KADIN di Solo pekan lalu.
Ketika mencermati Paket Kebijakan Ekonomi XVI tersebut, Bamsoet dan sejumlah anggota Dewan lainnya bahkan anggota DPR dari Fraksi PDIP selaku pengusung pemerintah memprotesnya. Karena salah satu cara mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang berkeadilan adalah dengan memperkuat UMKM serta mendorong ekspor nasional dan pembangunan industri yang berdaya saing.
Bukan sebaliknya. Terbukti, kontribusi UMKM pada PDB Indonesia mencapai 60 persen. “DPR sebagai suara parlemen ingin mengimbau satukan langkah, satukan sikap dalam pemerintahan ini agar kebijakan yang lahir dari istana tidak membuat bingung masyarakat. Kita tidak ingin pemerintah ini gagal, kita ingin pemerintahh ini sukses mensejahterakan masyarakat,” pesannya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang telah mencoret kebijakan relaksasi DIN dari paket kebijakan ekonomi ke-XVI. Menurutnya, komitmen dan keberpihakan pemerintah terhadap UMKM dalam negeri tak perlu diragukan lagi.
Bahkan, Presiden telah melakukan penurunan bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 23 persen menjadi 7 persen, pajak UMKM yang dulunya 1 persen menjadi 0,5 persen. Pemerintah juga mengeluarkan kredit tanpa agunan dari Rp 5 juta menjadi Rp 25 juta.
Ia menyanyangkan visi misi Menteri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang justru bertentangan dengan keinginan pemerintah. “Saya pikir tidak boleh ada lagi ke depan menteri yang tidak satu suara, semoga tidak terjadi lagi di masa mendatang,” tandasnya.
Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadaila mengatakan penolakan yang dilakukan HIPMI karena kebijakan DNI dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI telah membuka pintu luas bagi investor asing berskala besar untuk menyentuh UKM yangh seharusnya dilindungi pemerintah. “Kalau yang untuk usaha kecil menengah juga diambil sama investor gede, terus pengusaha kecil mau gimana? Harusnya investor asing hanya diberikan untuk usaha-usaha yang memang tidak bisa dipenuhi oleh UKM,” tegasnya.
Seperti diberitakan, melalui Paket Kebijakan Ekonomi XVI, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah memberikan saham kepada pengusaha asing hingga 100 persen terhadap 25 sektor bidang usaha. Namun, sejumlah pihak menyayangkan dari 25 bidang usaha itu. (Hardianto/balipost)