Oleh Supartha Djelantik
Konsep Negara hukum seakan menjadi mantra sakti bagi negara-negara maju di dunia. Sebutan negara hukum atau dengan sebutan lain, seperti the rule of law, rechtstaat, nomocracy, I’etat de droit, l’Estado de derecho, lo Stato di dirito, meyakinkan warga negara dan dunia arti penting hukum dalam kehidupan manusia yang beradab dalam berbangsa dan bernegara.
Di bawah terma Negara hukum, program-program demokrasi, HAM, good gevernance bergema dalam agenda pembangunan hukum nasional. Negara hukum menjadi promosi harmonisasi hukum Negara dengan keberlakuan hukum masyarakat yang tidak tertulis (hukum adat), yang memiliki konstitusionalitas dan mendapat legalitas dari UU Desa yang merupakan turunan dari Ps 18B ayat (2) dan Ps 28I ayat (3) UUD (perubahan).
Pengakuan keberadaan “kesatuan-kesatuan politik tradisi, susunan asli dan hak-hak asal-usul” di mana pengakuan itu bukan sekadar sesuai dengan bunyi pasal-pasal UU atau konstitusi, melainkan tersirat kehendak pengakuan yang tulus, menyeluruh menurut esensi-esensi hukum masyarakat yang dielaborasi dalam pembangunan hukum nasional yang sedang berlaku atau yang akan diberlakukan dalam kebijakan hukum nasional yang mencerminkan arah pembangunan hukum tertulis dan tak tertulis, dalam pengembangannya sesuai dengan Pancasila.
Maka hukum yang dibentuk adalah hukum yang sarat nilai etika-moral Pancasila yang berfungsi sebagai ideals of legality, standard of conduct, as a tool of social engeneering dan as a facility on human interaction. Jadi hukum dibentuk berlandaskan moral hukum yang sarat nilai, berkesadaran interaktif sehingga setiap orang mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui hukum. Hukum berfungsi secara optimal sebagai instrumen integrasi sosial, dan pendorong perubahan menuju kehidupan masyarakat yang adil, aspiratif, dan mensejahterakan.
Selain itu, susunan asli itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat otonom (istimewa), maka perlakuan terhadapnya tentulah bersifat istimewa pula. Artinya, kesatuan-kesatuan territorial dan sistem kelembagaan yang mengaturnya tidaklah dapat diperlakukan sama pada setiap daerah kesatuan teritorial lain. Dengan demikian, pengaturan itu mengandung sifat asimetris dalam pelaksanaan otonomi daerah atau otonomi desa.
Otonomi adalah kedaulatan dari susunan (asli) tersebut untuk mengatur tentang struktur, kewenangan dan kelembagaan daerah atau desa adat yang berbeda di setiap kabupaten/kota, berbeda antara satu desa adat dengan desa adat lainnya. Karenanya, sesuatu aturan yang datang dari luar “susunan asli” itu hendaklah relevan dengan tatanan “susunan asli” dan di sisi lain aturan susunan asli itu tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Kalaupun aturan-aturan baru tersebut ingin diberlakukan kedalam tatanan “susunan asli” itu, pemberlakuannya mestilah atas izin pendukung “susunan asli” itu sendiri atau setidaknya menyesuaikan dengan kearifan yang dianut oleh masyarakatnya.
Dalam suasana kemajemukan budaya masyarakat, hukum yang berlaku untuk seluruh wilayah akan bisa menciptakan tirani akibat konstruksi kepastian hukum dari UU yang pembentukan hukum (in concreto) selalu terjadi dengan judgements, yaitu keputusan-keputusan yang infiltratif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan yang bersifat extralegal dengan cara-cara menyertakan fakta-fakta sosial yang berlaku di suatu masyarakat.
Demikian halnya dalam pembentukan hukum dalam masyarakat adat yang beragam. Ada dua perspektif nalar hukum tentang desa adat yang saling bertautan, yaitu (1) di satu sisi desa adat adalah pranata sosial-budaya, politik, hukum, ekonomi dan adat-istiadat masyarakat hukum adat, penanda keberadaan (eksistensi) masyarakat adat, di mana mereka membangun dan mengembangkan sistem ketatadesaan dan hukumnya sendiri yang disusun dalam awig-awig yang berdasarkan nilai-nilai THK yang diyakini sebagai pembentuk budaya, hukum (awig-awig) yang memuat ketentuan pidana (adat), perdata, sanksi adat dan sanksi sosial, membentuk pararem sebagai pelaksanaan awig-awig dengan syarat-syarat yang berkenaan adanya larangan atau kebolehan, sanksi dan paksaan, sekalipun awig-awig tidak tertulis tapi ditaati oleh warganya, dan akhirnya membentuk budaya negara hukum berlatar budaya Bali. (2) Negara memiliki kedaulatan untuk mengatur dan mengurus masyarakat berdasarkan UU, di mana masyarakat hukum adat (Desa Adat) diatur melalui UU Desa, ke depan dapat diarahkan membangun Negara hukum melalui penguatan budaya hukum lokal.
Bukan Salah Bunda Mengandung
Desa memiliki peran strategis dan menjadi tulang punggung raja-raja pada masa kerajaan. Kemudian pada tahun 1854, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Regeeringsreglement yang merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa Desa yang dalam peraturan itu disebut inlandsche gemeenten atas pengesahan kepala daerah (residen) berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah desanya sendiri.
Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Dalam ordonansi itu juga ditentukan Kepala Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu.
Kepala Desa Bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi. Desa diberi wewenang: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan Desa.
Kehadiran Belanda yang awalnya hanya berdagang lambat laun masuk wilayah kekuasaan, menyelenggarakan segala urusan pemerintahan, dan membangun sistem kekuasaan sampai ke tingkat desa. Tanggal 3 Februari 1906, lahirlah peraturan desa untuk Jawa dan Madura yang dimuat dalam Staasblad 1906 No. 83, diubah dengan Staablad 1910 No. 591, Staadblad. 1913 No. 235 dan Staadblad, 1919 No. 217 dikenal dengan nama Islandsche Gemeente-Ordonnantie (IGO).
Dalam penjelasannya, Bijblad 6567 disebutkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam Ordonnantie yang mengatur kewajiban dan hak kekuasaan pemerintah Desa baik berdasarkan hukum ketataprajaan maupun berdasarkan hukum perdata. Desa (Dinas) yang secara formal dihadirkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1903 dengan kekuasaan mengeluarkan UU desentralisasi, menciptakan Dewan-dewan lokal yang mempunyai wewenang membuat peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan, dan secara berangsur dibentuk provinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom.
Untuk mengatur Desa di Jawa dan Madura diberlakukan IGO berdasarkan stbl 1906 No.83 dan untuk di luar Jawa dan Madura diberlakukan IGOB stbl 1938 No.490 jo Stbl 1938 No. 681 yang melahirkan dualisme pengaturan Desa, kemudian Jepang menerbitkan Osamu Seirei No.7 Tahun 2604 (1944).
Penulis, Pendukung Penegakan Pengakuan dan Penghormatan Desa Adat (P4DA). Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa