Oleh I Nyoman Raminda
Melihat penampilan para calon anggota legislatif yang memasang baliho di pinggir jalan, terasa ada nuansa lucu dan menggelikan, tetapi sekaligus juga menuntut adanya sikap waspada dan cerdas dalam melakukan pilihan nanti. Penampilan para politisi ini lucu.
Mereka memasang foto-foto lain di luar fotonya sendiri. Padahal, pemasangan foto-foto di luar dirinya itu berpotensi “mengaburkan” foto dirinya sendiri karena konsentrasi orang terpecah kepada beberapa foto lain di sampingnya. Di samping memasang foto yang demikian banyak, juga memasang kalimat yang cukup panjang dengan tulisan relatif kecil.
Bisa dibayangkan, apa yang dapat dibaca dan dilihat oleh orang yang lewat di pinggi jalan. Padahal, sasaran memasang baliho di pinggir jalan adalah orang lewat. Pada zaman sekarang, orang lewat di pinggir jalan itu saling berburu waktu, apalagi mereka yang bekerja di industri pariwisata yang dikejar absen. Politisi kita ini memang lucu-lucu. Apalagi kalau dilihat gaya berfotonya, yang sebagian besar mencakupkan tangan tanpa variasi lain.
Akhir-akhir ini, foto-foto lucu seperti itu semakin banyak saja. Tetapi yang mencerminkan ada masalah di dalam penampilan mereka di baliho itu adalah jajaran foto-foto yang ditempel. Kalau boleh membandingkan, pada masa lalu (termasuk juga zaman Orde Baru), tidak ada deretan foto yang melingkari ikon calon partai yang hendak diperkenalkan.
Artinya, hanya satu foto yang dipasang kemudian sebagai latar adalah gambar partai politik dari mana calon anggota legislatif ini berasal. Pesan yang disampaikan juga tidak terlalu bertele-tele. Jadi, para pemilih fokus kepada wajah yang dipampang di dalam gambar baliho tersebut. Hasilnya, paling tidak calon itu dikenal secara utuh, tidak bercabang-cabang lagi bayangan calon pemilih.
Pemasangan baliho, apalagi di pinggir jalan, pada hakikatnya bukan saja mengajak masyarakat yang lewat di jalanan tersebut untuk memilih tetapi juga memperkenalkan diri kepada khalayak. Tentu saja tujuannya agar sosok dirinya terpatri di dalam ingatan anggota masyarakat yang lewat di jalan.
Jalan umum memang sebuah media yang paling pantas untuk melakukan pengenalan diri. Bukan saja ratusan tetapi ribuan bahkan puluhan ribu anggota masyarakat yang lewat di jalanan.
Dari puluhan ribu itu, sepersepuluhnya saja yang mengingat sosok diri dari calon anggota legislatif, sudah merupakan sebuah keuntungan. Dari jumlah itu, jika kemudian seperempatnya yang memilih gambar bersangkutan, merupakan keuntungan tersendiri. Jika itu dipasang di jalanan kota-kota besar, bisa dibayangkan betapa besarnya jumlah mereka yang melihat dan mengingat baliho bergambar politisi tersebut.
Karena tujuannya agar fotonya diingat, maka tidak bisa lain hal yang paling ditonjolkan adalah foto diri dan nama. Kandidat yang sudah populer, apalagi sudah dketahui kejujurannya, tidak perlu lagi mengisi kalimat dan kata-kata seruan.
Cukup dipasang foto diri saja yang tujuannya untuk mengingat diri bersangkutan. Sebagai ilustrasi adalah gambar partai politik tempat ia bernaung. Tentu saja juga perlu nuansa keindahan. Yang paling dekat dengan keindahan dalam konteks ini, tidak lain adalah cara berpakaian atau tata rias.
Jadi, bolehlah kemudian menghias diri agar kelihatan penampilannya segar, simpati, dan menggembirakan. Akan tetapi, janganlah kemudian menghias diri sampai-sampai orang tidak mengenal lagi wajah aslinya. Dan yang perlu diperhatikan adalah sebaiknya gambar yang dipasang di pinggir-pinggir jalan itu sama dengan gambar yang ada di dalam kartu suara.
Identifikasi pilihan itu akan sudah terlihat di jalan raya kalau gambar di baliho sama dengan gambar yang akan dicoblos. Percaya atau tidak, banyak para calon politisi ini yang memasang foto pinggir jalannya tidak sama dengan gambar yang ada pada kertas suara.
Jadi, dari kacamata tersebut menjajarkan foto-foto lain yang ada di luar kandidat utama di dalam baliho, sesungguhnya merugikan, membuat tidak fokus dan mengaburkan makna pengenalan diri. Sekali lagi, yang paling penting adalah pengenalan diri.
Namun, jika kemudian banyak kandidat yang memamerkan foto lain di luar dirinya di dalam baliho, kemungkinan ada faktor-faktor lain yang menjadi latar belakangnya. Faktor-faktor inilah yang bagi masyarakat harus dicermati secara baik.
Yang paling awal, ada kemungkinan pengelompokan-pengelompokan di dalam satu partai politik. Pada tataran teoretik, pengelompokan itu disebut sebagai faksi. Dan keberadaan faksi-faksi tersebut secara tidak langsung telah memperlihatkan adanya potensi perpecahan di dalam partai. Jadi, waspadailah hal seperti ini.
Politisi yang menyertakan keberpihakannya kepada tokoh tertentu telah memperlihatkan potensi konflik tersebut di partai politik. Keberpihakan tersebut adalah terhadap foto lain yang menjadi latar dari gambar baliho tersebut. Harus juga waspada melihat partai seperti ini.
Yang kedua, adalah cerminan tidak adanya rasa percaya diri.
Jika ini benar, maka lagi-lagi masyarakat harus waspada memilih politisi seperti ini. Jejeran foto yang ada di belakang foto utama itu, bisa jadi dimaksudkan sebagau pendukung kandidat utama dalam gambar ini. Atau kandidat mencoba “menipu” masyarakat dengan memancing kesan bahwa gambar latar itu adalah tokoh yang juga ikut mendukung kandidat utama dalam gambar ini.
Ada kesan tidak percaya diri. Jika percaya diri, tidak perlu ia menjejerkan banyak foto di belakangnya itu. Ia harus tampil penuh sendirian tanpa ada foto-foto lain lagi di belakangnya. Dengan rasa percaya dirilah, para kandidat itu masuk ke dalam kancah politik.
Jangan lupa, ketika bertugas sebagai politisi, yang bersangkutan harus percaya diri. Dengan percaya diri itulah ia akan melakukan perdebatan, mempertahankan argumentasinya dan membela rakyat yang menjadi konstituennya.
Lalu, pertanyaannya, kekuatan apa yang dimiliki oleh politisi yang tidak mempiliki rasa percaya diri? Potensi apa yang dapat diutarakan oleh politisi yang hanya menggantungkan diri pada bayang-bayang tokoh lain? Karena itulah, masyarakat harus hati-hati memilih kandidat yang bercirikan seperti ini. Harus ada kewaspadaan ekstra, apalagi para pemilih pemula harus banyak belajar untuk melakukan pilihan ini.
Hal ketiga adalah kemungkinan adanya “korupsi” citra dalam pemasangan baliho seperti ini. Di sini yang menjadi korban adalah kandidat utama yang ada di dalam baliho tersebut. Kemungkinan tokoh-tokoh yang ada di belakangnya itu menitipkan pesan agar citranya ikut terjaga atau terlihat di dalam baliho tersebut.
Korupsi, jika benar demikian, ternyata tidak hanya ada di bidang keuangan atau benda tetapi juga pencitraan. Gambar latar itu merupakan tumpangan yang mungkin saja ada berdasarkan “perjanjian” beberapa pihak.
Kalau ini benar, bisa jadi juga mencerminkan saling ketidakpercayaan antara kedua belah pihak karena masing-masing ingin mendapat dukungan satu sama lain. Atau hal itu mencerminkan kultus feodal, di mana tokoh utama dalam baliho tersebut terikat “kontrak” dengan mereka yang dipasang sebagai gambar latar.
Kalau feodalisme itu terlihat lagi di dalam praktik politik kepartaian pada zaman sekarang, pertanyaannya di mana letak demokrasi yang diusung oleh reformasi tersebut? Rasanya jika feodalisme dalam bentuk lain ini benar-benar terjadi pada zaman sekarang, maka ini merupakan perkembangan yang memalukan dan munafik dari politik dan partai politik. Jadi, masyarakat haruslah waspada dalam melakukan pilihan nanti.