DENPASAR, BALIPOST.com – Kongres Kebudayaan Bali kembali digelar untuk ketiga kalinya di Wiswasabha Utama Kantor Gubernur Bali, Senin (3/12). Pelaksanaan kongres kali ini bisa dikatakan istimewa lantaran sudah ada payung hukum berupa Undang-undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Selain itu, bertepatan pula dengan agenda Pemprov Bali menyiapkan RPJMD 2019-2023 dan sekaligus menyongsong Kongres Kebudayaan Indonesia pada 7-9 Desember mendatang.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dewa Putu Beratha mengatakan Kongres Kebudayaan Bali I dan II sebelumnya digelar tahun 2008 dan 2013 lalu. “Catatan Belanda juga tahun 1920an, pernah melaksanakan Kongres Kebudayaan Bali,” ungkapnya.
Menurut Beratha, kondisi faktual kebudayaan di masing-masing kabupaten/kota sebelumnya telah dipetakan dan terangkum dalam pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Pokok-pokok pikiran itulah yang dipaparkan secara bergantian oleh kabupaten/kota dalam kongres. Utamanya mencakup 10 objek dan cagar budaya yakni tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Kemudian, apa permasalahannya, apa langkah-langkah yang sudah dilakukan, serta rekomendasi.
“Masing-masing kabupaten memang menyampaikan ada kekhasan permasalahan sendiri-sendiri, tapi juga ada hal-hal yang sama. Seperti misalnya di dalam manuskrip, persoalan lontar. Sudah makin jarang ada anak-anak kita yang bisa membaca aksara Bali,” ujarnya.
Minimnya anak-anak yang bisa membaca aksara Bali, lanjut Beratha, berpengaruh pada keberadaan lontar itu sendiri. Lontar menjadi kurang terpelihara lantaran jarang ada yang membaca. Selain manuskrip, permasalahan juga muncul pada tradisi lisan khususnya “mesatua”.
“Mesatua itu kan bagus sekali. Di dalamnya berisi hal-hal yang bersifat pembelajaran moral, etika, itu yang sudah makin hilang. Permainan tradisional, olahraga tradisional, itu juga sudah semakin hilang. Termasuk juga teknologi tradisional, terutama terkait teknologi ke sawah,” imbuhnya.
Beratha menambahkan, pemetaan ini akan dijadikan acuan untuk membuat kebijakan kedepan. Hasil kongres nantinya dirumuskan oleh tim kelompok ahli pembangunan bidang kebudayaan. Tidak hanya untuk dibawa ke Kongres Kebudayaan Indonesia, tapi juga dijadikan pola dasar kebijakan pembangunan kebudayaan di Bali 20 tahun kedepan. Dalam hal ini, menjadi rencana induk pemajuan kebudayaan di Pulau Dewata yang mengadopsi visi Nangun Sat Kertih Loka Bali. Oleh karena itu, Kongres Kebudayaan Bali dimulai dengan penyusunan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah di kabupaten/kota. Sebelum akhirnya dikompilasi menjadi pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah provinsi.
“Tentu ini akan diimplementasikan lagi dalam program kegiatan setiap tahun, baik di Dinas Kebudayaan Provinsi maupun kabupaten/kota. Kita harapkan semua program-program kegiatan di bidang kebudayaan itu betul-betul terintegrasi untuk mencapai tujuan perlindungan, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan,” paparnya. (rindra/balipost)